.mapouter{position:relative;text-align:right;height:500px;width:600px;}embedgooglemap.net.gmap_canvas {overflow:hidden;background:none!important;height:500px;width:600px;}
Home / News / Mimpi Prabowo Ini Terancam Gagal Jika PPN Naik Jadi 12%

Mimpi Prabowo Ini Terancam Gagal Jika PPN Naik Jadi 12%

Mimpi Presiden Terpilih Prabowo Subianto tentang pertumbuhan ekonomi sebesar 8% diprediksi gagal apabila Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dinaikkan menjadi 12%. Alih-alih membuat pertumbuhan ekonomi tinggi, kenaikan PPN diprediksi malah membuat ekonomi terkontraksi.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menyebut lembaganya sempat membuat simulasi apabila PPN naik menjadi 12,5%. Hasilnya, mudarat kebijakan itu lebih besar untuk perekonomian.

“Tarif ini membuat Perekonomian terkontraksi,” kata Esther dalam diskusi berjudul Moneter dan Fiskal Ketat, Daya Beli Melarat, Kamis, (12/9/2024).

Dikutip dari paparan Esther, Indef memproyeksikan dampak kenaikan PPN membuat ekonomi terkontraksi -0,11%. Hal ini dapat terjadi karena kenaikan PPN membuat upah riil masyarakat turun -5,86%.

Penurunan upah riil pada akhirnya menggerus daya beli masyarakat. Indef memperkirakan tingkat konsumsi akan berkurang -3,32% akibat kebijakan kenaikan PPN ini. Selain itu, Esther mengatakan kenaikan PPN juga akan berdampak pada Indeks Harga Konsumen yang terkontraksi -0,84% dan ekspor-impor yang turun sebesar masing-masing -0,14% dan -7,02%.

“Jadi kurang lebih angkanya seperti ini, kenaikan tarif PPN akan membuat kontraksi perekonomian, tidak hanya dari sisi konsumsi tapi juga ekspor-impor dan pertumbuhan ekonomi,” ujar Esther.

Senada, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengusulkan kepada pemerintah, untuk mengevaluasi ulang kebijakan kenaikan tarif PPN jadi 12%. Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani mengatakan, kebijakan kenaikan PPN 12% harus dievaluasi ulang lantaran saat ini daya beli masyarakat sedang mengalami penurunan. Menurutnya, pemberlakuan kenaikan tarif PPN 12% pada awal tahun 2025 cenderung lebih karena aspek budgetair, yaitu fungsi fiskal untuk menambah penerimaan negara.

“Kalau betul aspek budgetair ini yang menjadi pertimbangan pemerintah, seharusnya ada kajian yang lebih mendalam. Karena tren daya beli masyarakat sedang mengalami penurunan,” kata Ajib.

Ia mengutip data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Bank Mandiri, yang menunjukkan kelas menengah mengalami penurunan dari 21,45% pada tahun 2019 menjadi 17,44% pada tahun 2023. Kemudian, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia juga menyebutkan 8,5 juta penduduk Indonesia turun ke kelas ekonomi yang lebih rendah dalam rentang 2018-2023.

Di sisi lain, lanjut Ajib, data makro ekonomi menunjukkan, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia secara signifikan lebih dari 60% ditopang oleh konsumsi rumah tangga.

“Artinya, kalau pelemahan daya beli masyarakat ini terus dibebani oleh kebijakan fiskal yang kontraproduktif, maka target pemerintah Prabowo-Gibran yang membuat target pertumbuhan ekonomi cukup agresif, akan menghadapi kendala,” ucapnya

Sumber : CNBC Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Top