Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengusulkan kepada pemerintah, untuk mengevaluasi ulang kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12% pada awal tahun 2025 mendatang.
Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani mengatakan, kebijakan kenaikan PPN 12% harus dievaluasi ulang lantaran saat ini daya beli masyarakat sedang mengalami penurunan. Menurutnya, pemberlakuan kenaikan tarif PPN 12% pada awal tahun 2025 cenderung lebih karena aspek budgetair, yaitu fungsi fiskal untuk menambah penerimaan negara.
“Kalau betul aspek budgetair ini yang menjadi pertimbangan pemerintah, seharusnya ada kajian yang lebih mendalam. Karena tren daya beli masyarakat sedang mengalami penurunan,” kata Ajib kepada CNBC Indonesia, Selasa (20/8/2024).
Ia mengutip data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Bank Mandiri, yang menunjukkan kelas menengah mengalami penurunan dari 21,45% pada tahun 2019 menjadi 17,44% pada tahun 2023. Kemudian, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia juga menyebutkan 8,5 juta penduduk Indonesia turun ke kelas ekonomi yang lebih rendah dalam rentang 2018-2023.
Di sisi lain, lanjut Ajib, data makro ekonomi menunjukkan, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia secara signifikan lebih dari 60% ditopang oleh konsumsi rumah tangga.
“Artinya, kalau pelemahan daya beli masyarakat ini terus dibebani oleh kebijakan fiskal yang kontraproduktif, maka target pemerintah Prabowo-Gibran yang membuat target pertumbuhan ekonomi cukup agresif, akan menghadapi kendala,” ucapnya.
Karena itu, Ajib menyarankan pemerintah untuk tetap menjaga daya beli masyarakat, dengan cara menurunkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Sesuai dengan PMK Nomor 101 tahun 2016, besaran PTKP adalah sebesar Rp54 juta per tahun, atau ekuivalen dengan penghasilan Rp4,5 juta per bulan.
“Pemerintah bisa menaikkan, misalnya, PTKP sebesar Rp100 juta. Hal ini bisa mendorong daya beli kelas menengah-bawah. Di kelas ini, setiap kenaikan kemampuan akan cenderung dibelanjakan, sehingga uang kembali berputar di perekonomian dan negara mendapatkan pemasukan,” jelasnya.
Selain itu, kata Ajib, pemerintah bisa fokus dalam mengalokasikan tax cost, dengan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor-sektor yang menjadi lokomotif penggerak banyak gerbong ekonomi. Misalnya sektor properti, atau untuk sektor yang mendukung hilirisasi sektor pertanian, perikanan dan peternakan.
“Tetapi, secara kuantitatif harus dihitung betul bahwa tax cost ini satu sisi tetap memberikan dorongan private sector tetap bisa berjalan baik, dan di sisi lain penerimaan negara harus menghasilkan yang sepadan. Sehingga fiskal bisa tetap prudent,” terang Ajib.
“Prinsipnya, pemerintah harus mempertimbangkan dengan matang kebijakan untuk menaikkan tarif PPN 12%. Harus ada insentif fiskal yang relevan dengan kemampuan daya beli masyarakat dan juga sektor usaha, agar terus berjalan dengan baik. Pertumbuhan ekonomi yang konsisten di atas 5% membutuhkan kebijakan fiskal yang pro dengan pertumbuhan,” pungkasnya.
Sumber : CNBC Indonesia