Berbagai macam jenis joki kini bertebaran di media sosial. Yang membuat heboh di antaranya joki tugas, joki strava, hingga yang teranyar ialah joki pantarlih coklit Pilkada 2024. Di luar itu, perlu diingat profesi joki memiliki kewajiban perpajakan.
Bila merujuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023, Joki termasuk ke dalam definisi subyek pajak pekerjaan bebas atau freelance. Pekerjaan bebas ini didefinisikan dalam PMK 168/2023 sebagai pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.
Penghasilan mereka pun masuk sebagai obyek pajak, sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Dalam Pasal 4 UU itu disebutkan obyek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Dalam Pasal 13 UU PPh juga disebutkan bahwa wajib pajak yang memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas wajib melakukan pembukuan di Indonesia, sehingga dari pembukuan tersebut dapat dihitung besarannya penghasilan kena pajaknya berdasarkan UU itu.
Perlu diingat penghitungan PPh non karyawan atau freelancer selama ini memang ada sedikit perbedaan dengan yang karyawan, karena menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN).
Wajib pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp 4,8 miliar dibolehkan DJP menghitung penghasilan neto dengan menggunakan NPPN.
Untuk pemberitahuan NPPN dapat dilakukan melalui DJP Online melalui website djponline.pajak.go.id. Setelah berhasil masuk ke laman itu tinggal pilih kolom layanan dan klik ikon Info KSWP, lalu pilih Pemberitahuan Penggunaan NPPN.
Sebelum menghitung pajak menggunakan NPPN perlu diketahui juga bahwa Ditjen Pajak telah memberikan Daftar Persentase Norma penghitungan Penghasilan Neto yang dikelompokkan menurut wilayah sebagai pengali penghasilan bruto dalam setahun. Ini ditetapkan dalam lampiran Peraturan Dirjen Pajak Nomor 17 Tahun 2015.
Kelompok wilayah itu terdiri daru 10 ibu kota provinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak.
Berikut ini contoh penghitungan dengan NPPN:
Ridwan seseorang yang belum menikah serta bekerja sebagai joki strava di Jakarta. Penghasilan Ridwan adalah Rp10 juta dari profesi tersebut.
Untuk menghitung pajak, Ridwan bisa memakai Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN) dengan rumus berikut:
– Penghasilan Netto: Penghasilan Bruto dalam setahun x 50% (DKI Jakarta)
Penghasilan Netto: Rp120.000.000 x 50% = Rp60.000.000
– Penghasilan Kena Pajak (PKP): Penghasilan Netto – PTKP
Penghasilan Kena Pajak (PKP): Rp60.000.000 – Rp54.000.000 (PTKP Wajib Pajak Orang Pribadi) = Rp6 juta
PPh 21 yang harus dibayar dalam setahun: 5% x Rp6 juta = Rp300 ribu.
Sementara itu dalam buku Cermat Pemotongan PPh Pasal 21/26 yang juga telah memperhitungkan metode tarif efektif rata-rata atau TER ada contoh lain untuk penghitungan PPh 21 pekerjaan bebas, sebagaimana berikut ini:
Jaenal adalah seorang joki tugas. Ia memasang tarif untuk menyelesaikan tugas pendataan untuk Lembaga A sebesar Rp 400 juta. Atas hasil penyelesaian tugas itu, ia pun menerima imbalan dari Lembaga A sesuai tarif yang dipatok.
Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang atas penghasilan jasa sehubungan dengan Pekerjaan Bebas yang diterima atau diperoleh Jaenal dihitung dengan menggunakan tarif Pasal 17 ayat ( 1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan, dikalikan dengan dasar pemotongan dan pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Bukan Pegawai.
Dalam buku Cermat Pemotongan PPh Pasal 21/26 yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak, disebutkan bahwa Dasar Pengenaan dan Pemotongan Pajak (DPP) untuk PPh Pasal 21/26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan Bukan Pegawai adalah sebesar 50% x jumlah Penghasilan Bruto.
Maka, dasar pemotongan dan pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Jaenal adalah sebesar 50% x Rp400.000.000,00 = Rp200.000.000,00
Besarnya pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Jaenal adalah sebesar
(5% x Rp60.000.000,00) + (15% x Rp140.000.000,00) = Rp24.000.000,00.
Catatan:
1. Lembaga A memotong PPh Pasal 21 Jaenal sebesar Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) dan membuat bukti pemotongan PPh Pasal 21 untuk Jaenal.
2. Jaenal wajib melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Lembaga A dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Tahun Pajak 2024.
3. PPh Pasal 21 yang telah dipotong oleh Lembaga A merupakan kredit pajak dalam SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2024 Jaenal.
Sumber : CNBC Indonesia