Perekonomian Indonesia saat ini tidak dapat dikatakan benar-benar baik. Data-data ekonomi yang muncul belakangan ini patut menjadi perhatian berbagai pihak.
Menteri Keuangan (Menkeu) RI Sri Mulyani menegaskan, bahwa proyeksi ekonomi dunia diperkirakan masih suram hingga tahun depan. Dia pun mengingatkan akan besarnya tantangan serta berbagai risiko ekonomi global yang mungkin terjadi hingga 2025.
Dari dalam negeri, kondisi ekonomi mulai mengalami tantangan serupa. Nilai tukar rupiah serta tingginya suku bunga saat ini membuat ekonomi Indonesia dalam ancaman. Bila kondisi ini terus berlanjut maka beragam dampak buruk bisa menghantam Indonesia, mulai dari ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) hingga daya beli melemah.
Data-data ekonomi yang ada saat ini cukup memberikan kecemasan bagi berbagai pihak. Begitu pula dengan harga barang yang terus mengalami kenaikan di tengah daya beli masyarakat yang tidak dalam performa terbaiknya.
Berikut ini lima hal yang menunjukkan ekonomi RI sedang tidak baik-baik saja.
1. Deflasi 2 Bulan Beruntun
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan IHK turun atau deflasi sebesar 0,08% pada Juni 2014 dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/mtm). Secara tahunan (year on year/yoy), IHK masih naik atau mengalami inflasi sebesar 2,51% pada Juni 204. Inflasi inti melandai ke 1,9% (yoy) pada Juni.
Sebagai catatan, IHK pada Mei 2024 juga turun atau mengalami deflasi 0,03% (mtm) tetapi secara tahunan mengalami inflasi sebesar 2,51%. Inflasi umum (yoy) adalah yang terendah sehak September 2023.
Dengan deflasi pada Juni 2024 maka deflasi sudah terjadi dua bulan beruntun.
Deflasi pada Juni (mtm) terbilang sangat jarang terjadi. Dalam 10 tahun terakhir, hanya sekali deflasi terjadi pada Juni yakni di 2021.
Dalam lima tahun terakhir, rata-rata inflasi Juni bahkan menyentuh 0,26% atau relatif tinggi. Secara historis, inflasi biasanya naik di Juni karena ada biaya persiapan sekolah untuk musim ajaran baru, gaji ke-13, dan liburan panjang sekolah.
Terjadinya deflasi pada Juni dan terjadinya deflasi selama dua bulan beruntun pun menimbulkan sejumlah pertanyaan.
Ekonom BCA Barra Kukuh Mamia mengatakan deflasi pada Juni disebabkan oleh melandainya harga komoditas pangan dan normalisasi setelah puasa. Namun, dia mengatakan daya beli masyarakat, terutama kalangan bawah juga sudah tertekan.
“Kalau daya beli untuk kelas bawah memang melemah sekarang tetapi untuk kelas menengah atas kita lihat di kuartal II-2024 masih OK,” tutur Barra kepada CNBC Indonesia.
Lebih lanjut, deflasi dua bulan beruntun pun dinilai bahwa pasokan barang yang tersedia tak banyak terserap karena permintaan untuk pembeliannya berkurang.
“Jadi deflasi itu indikasi dari daya beli masyarakat menurun,” ucap Ekonom dari Universitas Indonesia, Ninasapti Triaswati dalam Program Profit CNBC Indonesia, dikutip Selasa (2/7/2024).
2. Nilai Tukar Rupiah Jeblok terhadap Dolar AS
Dilansir dariĀ Refinitiv, rupiah sempat ambruk ke level Rp16.445/US$ pada 21 Juni 2024 kendati dalam seminggu terakhir cenderung menguat dan kembali pada level Rp16.135/US$.
Rupiah yang melemah ini berdampak signifikan terhadap perusahaan/industri yang berorientasi impor dalam menjalankan bisnisnya.
Ketika rupiah terus-menerus mengalami depresiasi, harga-harga barang menjadi lebih mahal sehingga operational cost mengalami kenaikan dan berdampak kepada margin keuntungan yang menipis.
Lebih lanjut, harga makanan dan minuman akan meningkat karena bahan makanan masih impor.
Ketua Umum GAPMMI, Adhi S. Lukman mengatakan Industri Mamin dalam negeri masih membutuhkan bahan baku gandum, susu hingga kedelai impor, jika saat ini rupiah melemah Rp500 saja maka biaya impor naik Rp4,5 triliun.
Selain biaya bahan baku, biaya bahan penolong hingga logistik yang menggunakan dolar AS membuat pelemahan rupiah semakin memberatkan industri Mamin.
Sementara Kepala Ekonom BCA, David E. Sumual mengatakan pelemahan rupiah yang terus berlanjut 90% dikontribusi oleh sentimen eksternal terkait ekspektasi pemangkasan suku bunga bank sentral AS (The Fed), sementara 10% lain disumbang oleh sentimen domestik terkait isu melebarnya defisit maupun penambahan utang terhadap PDB yang dianggap sebagai risiko fiskal ke depan.
3. PHK Semakin Marak Terjadi
Jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil semakin bertambah. Satu per satu pabrik tekstil di Indonesia pun tumbang.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi mengungkapkan, penurunan pesanan hingga sama sekali tak ada order membuat pabrik-pabrik tekstil tersebut tutup. Akibatnya, puluhan ribu pekerja telah menjadi korban PHK.
Berikut daftar pabrik tekstil yang tutup sejak awal 2024:
1. PT S. Dupantex, Jawa Tengah: PHK 700-an orang
2. PT Alenatex, Jawa Barat: PHK 700-an orang
3. PT Kusumahadi Santosa, Jawa Tengah: PHK 500-an orang
4. PT Kusumaputra Santosa, Jawa Tengah: PHK 400-an orang
5. PT Pamor Spinning Mills, Jawa Tengah: PHK 700-an orang
6. PT Sai Apparel, Jawa Tengah: PHK 8.000-an orang.
Kini ketakutan terjadinya PHK merembet pada sektor lain, yakni industri otomotif. Sektor yang sempat mencatatkan pertumbuhan sebesar 17,82% pada 2021 ini tengah anjlok. Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie Sugiarto pun mengkhawatirkan bakal terjadinya PHK pada sektor ini jika tidak ada bantuan dari pemerintah seperti insentif.
Pasalnya, tengah ada penurunan penjualan wholesales atau penjualan dari pabrik ke diler sepanjang Januari-Mei 2024 yakni sebanyak 334.969 unit. Angka tersebut jeblok 21% year on year (YoY) dari periode yang sama tahun sebelumnya yakni dengan penjualan 423.771 unit.
4. Aktivitas Manufaktur Turun ke Level Terendah 13 Bulan Terakhir
Aktivitas manufaktur Indonesia terjun bebas ke level terendah dalam 13 bulan pada Juni 2024. Data Purchasing Managers’ Index (PMI) yang dirilis S&P Global hari ini, Senin (1/7/2024) menunjukkan PMI manufaktur Indonesia jatuh ke 50,7 pada Juni 2024.
S&P Global menjelaskan penurunan PMI Juni dipicu laju ekspansi yang lebih lambat baik dalam output maupun pesanan baru. Produksi naik dengan laju terendah sejak Mei 2023, sementara pertumbuhan pesanan baru adalah yang terlemah dalam 13 bulan terakhir. Penjualan ekspor yang lemah juga mengurangi pesanan. Bisnis ekspor baru turun untuk keempat kalinya berturut-turut.
Trevor Balchin, Direktur Ekonomi di S&P Global Market Intelligence, mengatakan PMI jeblok ini adalah hal yang tak biasa.
“Terjadi penurunan momentum yang signifikan di sektor manufaktur Indonesia pada Juni, di mana pertumbuhan pesanan baru hampir berhenti karena ekspor turun untuk keempat kalinya berturut-turut,” tutur Balchin, dalam website resmi S&P Global.
5. Penerimaan Pajak Menurun
Hingga 30 Juni 2024 atau semester I-2024, penerimaan pajak hanya sebesar Rp893,8 triliun. Jumlah tersebut turun 7,9% dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp970,2 triliun. Penerimaan pajak hanya 44,9% dari target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.
Sri Mulyani penerimaan pajak turun karena harga-harga komoditas yang anjlok atau mengalami normalisasi, sehingga setoran pajak penghasilan atau Pajak Penghasilan (PPh) badan ikut merosot. Di antaranya adalah harga minyak mentah sawit (Crude Palm Oil/CPO) dan batu bara.
“Dari sisi pajak Rp893,8 triliun terutama kalau kita lihat levelnya sebetulnya cukup comparable ini disamping penerimaan yang berasal dari komoditas base mengalami penurunan yang sangat tajam seperti yang kami sampaikan dari harga CPO, batu bara, dan beberapa harga komoditas lainnya,” ucap Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR di Jakarta, Senin (8/7/2024).
Kementerian Keuangan memproyeksi bahwa penerimaan pajak tahun ini kembali mengalami shortfall atau lebih rendah dibandingkan target yang sudah ditetapkan dengan perkiraan 96,6% terhadap APBN atau sebesar Rp1.921,9 triliun. Terdiri dari realisasi semester I-2024 sebesar Rp 893,8 triliun dan prognosa semester II-2024 Rp1.028,1 triliun.
Sumber : CNBC Indonesia