.mapouter{position:relative;text-align:right;height:500px;width:600px;}embedgooglemap.net.gmap_canvas {overflow:hidden;background:none!important;height:500px;width:600px;}
Home / News / Dear Sri Mulyani, Ini Saatnya Terapkan Windfall Tax, Rakyat Lagi Susah

Dear Sri Mulyani, Ini Saatnya Terapkan Windfall Tax, Rakyat Lagi Susah

Ekonom senior sekaligus pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri mengingatkan pemerintah untuk mulai menerapkan windfall profit tax.

Alasannya, saat ini sudah terbukti sejak pesta durian runtuh (windfall) atau meroketnya harga-harga komoditas pasca Pandemi Covid-19 dan pecahnya perang Rusia-Ukraina, yang menikmati hanyalah segelintir pengusaha.

Adapun rakyat sebatas terbebani inflasi tinggi, dan pemerintah kini mulai terdampak anjloknya penerimaan pajak karena harga komoditas sudah normalisasi. Keuangan negara pun mulai defisit karena tak signifikan memperoleh pendapatan tinggi saat adanya windfall harga komoditas.

“Jadi windfallnya, profit normalnya, ambil semua, ada windfallnya ini diambil 25%, bahkan di Mongolia itu 70% diambil,” kata Faisal Basri dalam program Profit CNBC Indonesia, dikutip Jumat (12/7/2024).

Faisal mengatakan, saat windfall profit terjadi pada 2022 silam, industri batu bara misalnya berhasil memperoleh keuntungan penjualan ekspor senilai Rp 1.000 triliun. Mengutip catatan Badan Pusat Statistik (BPs), nilai ekspor batu bara pada 2022 senilai US$ 46,76 miliar, naik signifikan dari 2021 sebesar US$ 26,53 miliar, dan 2020 bahkan hanya US$ 14,53 miliar.

“Masih windfall ini di komoditi sebetulnya. Pada 2022 yang saya ikuti penerimaan dari ekspor saja dari keluarga besar batu bara HS 27 itu Rp 1.000 triliun. Kalau di berbagai negara dikenakan windfall tax profit, di Indonesia nol, jadi harusnya bisa dapat Rp 250 triliun itu,” tegas Faisal.

Karena windfall saat ini sebetulnya masih terjadi dari harga komoditas, Faisal menekankan pentingnya pemerintah berani menerapkan Windfall Profit Tax. Keuntungan dari penerimaan pajak itu menurutnya bisa digunakan untuk masyarakat umum yang sudah tertekan inflasi tinggi hingga kini daya belinya ambruk.

“Windfallnya yang diambil sebagian, karena apa? bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan segelintir orang,” tegasnya.

Ia pun berpendapat, ketimbang menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 mendatang sesuai Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), lebih baik mengenakan Windfall Profit Tax.

Bila PPN yang dipilih naik, Faisal meyakini rakyat yang kembali menjadi korban dan makin sengsara karena harga jual berbagai kebutuhan pokok saat ini sudah sangat tinggi akibat pelemahan kurs Rp 16.000/US$. Dipicu oleh maraknya bahan pangan yang mayoritas kebutuhannya masih dipenuhi dari impor, mulai dari beras, gula, gandum, terigu, hingga garam.

“Nah makanya yang diuntungkan itu diambil sebagian untuk kompensasi yang dirugikan, sehingga secara keseluruhan daya beli masyarakat itu stabil, karena tekanan-tekanan akibat perang Ukraina ini kan sudah diderita masyarakat dalam bentuk kenaikan harga, karena kebutuhan pangan kita itu banyak sekali yang diimpor, dan kita sudah defisit,” tegasnya.

“Kenaikan PPN ini kira-kira meningkatkan penerimaan negara Rp 50 triliun saja. Nah yang Rp 50 triliun itu kita hilangkan, ambil dari windfall profit bisa Rp 250 triliun,” tambah Faisal Basri.

Sebagaimana diketahui, selain daya beli masyarakat yang kini anjlok ditandai deflasi dua bulan beruntun, penerimaan negara dari sisi pajak hingga Semester I-2024 juga makin loyo. Hingga 30 Juni tahun ini, penerimaan pajak hanya Rp 893,8 triliun, turun 7,9% dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 970,2 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, anjloknya penerimaan pajak itu disebabkan oleh harga-harga komoditas yang anjlok atau mengalami normalisasi. Akibatnya setoran Pajak Penghasilan atau PPh Badan ikut merosot.

“Dari sisi pajak Rp 893,8 triliun terutama kalau kita lihat levelnya sebetulnya cukup comparable ini disamping penerimaan yang berasal dari komoditas base mengalami penurunan yang sangat tajam seperti yang kami sampaikan dari harga CPO, Batu Bara, dan beberapa harga komoditas lainnya,” ucap Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR di Jakarta, Senin (8/7/2024).

Oleh sebab itu, ia menekankan, penurunan pajak terutama disebabkan penurunan PPh Badan akibat turunnya profitabilitas perusahaan di tahun sebelumnya, sebagai dampak moderasi harga komoditas pada 2023.

“Artinya perusahaan-perusahaan masih profitable tapi tidak setinggi tahun sebelumnya karena harga komoditas mengalami koreksi yang sangat dalam. Jadi bukannya mereka rugi tapi profitnya mengalami penurunan sehingga pembayaran pajak badannya juga mengalami penurunan atau adjusted turun,” tegas Sri Mulyani.

Sumber : CNBC Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Top