Ekonom senior sekaligus pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menilai pemerintah masih bisa menerapkan windfall tax saat ini, meskipun booming harga komoditas mulai surut.
Menurut Faisal Basri, saat windfall profit terjadi pada 2022 silam, industri batu bara misalnya berhasil memperoleh keuntungan penjualan ekspor senilai Rp 1.000 triliun.
Mengutip catatan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor batu bara pada 2022 senilai US$ 46,76 miliar, naik signifikan dari 2021 sebesar US$ 26,53 miliar, dan 2020 bahkan hanya US$ 14,53 miliar.
Namun, Faisal mengungkapkan windfall tax bisa dikenakan karena harga komoditas masih jauh lebih tinggi dibandingkan sebelumnya.
“Masih windfall ini di komoditi sebetulnya. Pada 2022 yang saya ikuti penerimaan dari ekspor saja dari keluarga besar batu bara HS 27 itu Rp 1.000 triliun. Kalau di berbagai negara dikenakan windfall tax profit, di Indonesia nol, jadi harusnya bisa dapat Rp 250 triliun itu,” tegas Faisal.
Karena windfall saat ini sebetulnya masih terjadi dari harga komoditas, Faisal menekankan pentingnya pemerintah berani menerapkan Windfall Profit Tax. Keuntungan dari penerimaan pajak itu menurutnya bisa digunakan untuk masyarakat umum yang sudah tertekan inflasi tinggi hingga kini daya belinya ambruk.
“Windfallnya yang diambil sebagian, karena apa? bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan segelintir orang,” tegasnya.
Dikutip dari Binus University, windfall tax ditarik dari perusahaan yang memperoleh keuntungan yang tak terduga atau tak diharapkan. Pajak ini diterapkan pada perusahaan yang memperoleh keuntungan yang besar dalam waktu singkat, seperti perusahaan minyak dan gas yang memperoleh keuntungan besar akibat kenaikan harga minyak. Pajak ini bertujuan untuk mengurangi ketimpangan ekonomi dan meningkatkan pendapatan negara.
Cara kerja windfall tax adalah dengan menetapkan batas keuntungan yang dianggap sebagai keuntungan tak terduga. Jika perusahaan melebihi batas tersebut, maka perusahaan akan dikenakan pajak.
Pajak ini biasanya dikenakan pada perusahaan yang memperoleh keuntungan yang besar dalam waktu singkat, seperti perusahaan minyak dan gas yang memperoleh keuntungan besar akibat kenaikan harga minyak.
Sumber : CNBC Indonesia