Pemerintah tengah merugi akibat pelemahan harga-harga komoditas. Penerimaan pajak terkuras Rp 76,4 triliun dalam satu tahun terakhir, dari semula per Semester I-2023 mampu terkumpul Rp 970,2 triliun, menjadi hanya Rp 893,8 triliun per Semester I-2024.
“Kalau dilihat ini tekanan penerimaan pajak bisa diidentifikasi berkaitan dengan harga komoditas dan restitusi,” ucap Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR, Jakarta, dikutip Kamis (11/7/2024).
Berdasarkan sektor usaha utama penyumbang pajak, yang turun di antaranya industri pengolahan. Setoran pajak sektor industri manufaktur yang porsinya 25,23% itu senilai Rp 214,86 triliun atau turun 15,4% secara neto. Padahal, semester I-2023 masih tumbuh 8%.
Sri Mulyani mengatakan, turunnya penerimaan pajak dari industri pengolahan dipengaruhi oleh peningkatan restitusi dan penurunan PPh Badan Tahunan terutama pada subsektor terkait komoditas, misalnya sawit, logam, dan pupuk.
Urutan kedua ialah sektor industri perdagangan yang memiliki porsi 24,79%. Nilai setoran pajak sektor usaha itu sebesar Rp 211,09 triliun atau turun 0,8% secara neto padahal pada periode yang sama tahun lalu masih tumbuh 7,3%.
Diikuti sektor pertambangan yang kontribusinya sebesar 5,72% dari total penerimaan pajak hanya senilai Rp 48,75 triliun. Nilai setoran pajak itu turun 58,4% pada Semester I-2024, sedangkan pada Semester I-2023 masih tumbuh 51,7%.
Sri Mulyani mengatakan, harga-harga komoditas utama memang turun pada Semester I-2024 dibanding Semester I-2023. Misalnya Batu bara yang turun 53,92%, Tembaga 4,23%, dan lainnya 0,8%. Sementara itu, sawit turun 8,8%, dan logam 2,03%.
Kondisi ini menyebabkan restitusi untuk industri sawit naik dari Rp 16,3 triliun menjadi Rp 18,6 triliun, industri logam naik dari Rp 5,8 triliun menjadi Rp 17,2 triliun, Batubara naik dari Rp 8,1 triliun menjadi Rp 16,3 triliun, dan perdagangan bahan bakar dari Rp 3 triliun menjadi Rp 11,8 triliun.
“Artinya perusahaan-perusahaan masih profitable tapi tidak setinggi tahun sebelumnya karena harga komoditas mengalami koreksi yang sangat dalam. Jadi bukannya mereka rugi tapi profitnya mengalami penurunan,” ucapnya.
Berdasarkan jenis pajaknya, pajak penghasilan badan atau PPh Badan bahkan terkoreksi paling besar dengan minus mencapai 34,5% dengan nilai Rp 172,66 triliun. Padahal, porsi setoran pajaknya terhadap keseluruhan total penerimaan pajak mencapai 19,32%.
“Penerimaan yang berasal dari komoditas base mengalami penurunan yang sangat tajam seperti yang kami sampaikan dari harga CPO, Batu Bara, dan beberapa harga komoditas lainnya,” tutur Sri Mulyani.
Jebloknya penerimaan negara akibat harga-harga komoditas itu mencuri perhatian Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.
Ia mengatakan, akan terus berupaya mendorong efisiensi ekonomi melalui digitalisasi di berbagai sektor, supaya Indonesia tidak boleh lagi bergantung pada harga komoditas.
“Nah ini yang sekarang kita mau bereskan. Makanya Govtech itu menjadi isu pemerintah. Saya pikir kita nggak boleh bergantung pada harga komoditas saja,” kata Luhut di akun Instagramnya, dikutip Rabu (10/7/2024).
Oleh sebab itu, pemerintah tengah membereskan proses digitalisasi untuk sektor komoditas di Indonesia. Ia lantas mencontohkan seperti sektor mineral dan batu bara (minerba), yang sudah memiliki Sistem Informasi Pengelolaan Batu Bara antara Kementerian dan Lembaga (Simbara).
“Sistem terintegrasi ini dapat menekan selisih angka terkait data mineral di antaranya batubara, nikel, dan lain-lain,” kata Luhut.
Luhut mengungkapkan, sistem seperti Simbara nantinya juga akan diterapkan untuk komoditas berbasis kelapa sawit. Pasalnya, banyak penerimaan negara yang ternyata belum diambil dari sektor ini.
Bahkan berdasarkan temuan di lapangan, terdapat sekian banyak perusahaan sawit yang ternyata belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Padahal, setiap perusahaan wajib mempunyai NPWP untuk mengatur perpajakan.
“Itu kan semua penerimaan negara yang banyak potensi yang belum kita ambil. Masa ada sampai sekian banyak perusahaan misalnya di Kelapa Sawit, NPWP-nya aja nggak punya. Kalau NPWP nggak punya kan terus PPH barang semua juga kan nggak ditagih,” ujar Luhut.
Sumber : CNBC Indonesia