.mapouter{position:relative;text-align:right;height:500px;width:600px;}embedgooglemap.net.gmap_canvas {overflow:hidden;background:none!important;height:500px;width:600px;}
Home / News / Daya Beli Masyarakat Melemah, Negara Ikut Rugi!

Daya Beli Masyarakat Melemah, Negara Ikut Rugi!

Sinyal melemahnya daya beli masyarakat telah memberikan dampak langsung terhadap penerimaan negara. Tercermin dari beberapa setoran jenis pajak yang turun, beriringan dengan pemasukan pajak dari sejumlah sektor industri yang juga melorot.

Misalnya, setoran pajak sektor industri perdagangan secara neto merosot 0,8% per semester I-2024 dari sebelumnya pada periode yang sama tahun lalu masih tumbuh 7,3%. Nilai pajak yang masuk dari sektor industri itu hanya Rp 211,09 triliun meski porsinya diurutan kedua terbesar sebagai penyumbang pajak, yakni 24,79%.

Lalu, Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri atau PPN DN juga telah terkontraksi 11% secara neto dengan realisasi Rp 193,06 triliun pers semester I-2024. Porsi setoran PPN DN terhadap total penerimaan mencapai 21,60% atau menjadi yang terbesar di antara jenis pajak lainnya.

“Ketika PPN DN turun, secara otomatis basis PPN-nya kan berupa penjualan barang atau jasa juga mengalami penurunan. Hal demikian menunjukkan penurunan daya beli masyarakat,” kata Pakar Pajak yang merupakan Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (11/7/2024).

Prianto menjelaskan, dampak lanjut dari penurunan daya beli adalah penurunan penjualan dan laba perusahaan. Sebagai konsekuensinya, perusahaan punya hak untuk mengajukan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 pada tahun ini.

Untuk syarat permohonan pengurangan angsuran PPh 25, perusahaan membuat proyeksi laba rugi hingga akhir 2024. Jika berdasarkan proyeksi tersebut, proyeksi PPh badan 2024 < 75% dari PPh badan 2023, perusahaan berhak mendapatkan pengurangan angsuran PPh 25.

“Kalau dilihat dari kondisi penurunan PPh 25 itu kan berimbas pada penurunan penerimaan pajak di kas negara. Dengan demikian, pemerintah harus mencari potensi penerimaan pajak dari tahun pajak antara 2020-2023,” tutur Prianto.

Prianto menjelaskan, cara untuk mencari potensi penerimaan pajak pada 2020-2023 adalah dengan intensifikasi melalui penerbitan surat cinta berupa Surat Permintaan Penjelasan atas Data/Keterangan (SP2DK).

Melalui SP2DK, Kantor Pelayanan Pajak atau KPP mendapatkan tambahan penerimaan pajak karena ada pembetulan SPT oleh wajib pajak. Hasil pembetulan SPT tersebut adalah ada setoran pajak tambahan di 2024.

Ekonom dari Center of reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga menekankan, yang menjadi sinyal kuat turunnya daya beli masyarakat memengaruhi pendapatan negara ialah penurunan PPN. Seiring dengan anjloknya Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) beberapa bulan terakhir.

Bank Indonesia (BI) telah merilis data IKK Juni 2024 pada Senin (8/7/2024) di level 123,3. Meski masih berada pada level optimis (>100), angka IKK itu masih jauh lebih rendah dari posisi Mei 2024 yang sebesar 125,2, bahkan anjlok dibanding posisi per April 2024 sebesar 125,2. Artinya, IKK sudah turun tiga bulan beruntun.

“Ini hal yang perlu diperhatikan. Mengapa, karena penurunan PPN ini jika dibandingkan dengan beberapa data lain katakanlah seperti kepercayaan konsumen kemudian juga indeks manufaktur, PMI di data terbaru itu mengalami perlambatan dibandingkan dengan periode sebelumnya,” tegas Yusuf.

Penerimaan pajak hingga paruh pertama tahun ini hanya Rp 893,8 triliun atau turun 7,9% dari realisasi semester I-2023 sebesar Rp 970,2 triliun. Realisasi pada semester I-2024 itu pun baru sebesar 44,9% dari target penerimaan pajak untuk tahun ini Rp 1.988,9 triliun. Padahal, tahun lalu sudah 53,4% dari target Rp 1.818,2 triliun.

Sumber : CNBC Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Top