Masa pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan pajak orang pribadi akan segera berakhir pada 31 Maret 2023. Untuk kalian yang berprofesi sebagai karyawan dan ingin membuat laporan tersebut, maka ada satu dokumen yang sangat penting, yaitu bukti potong pajak.
Bukti potong pajak ini adalah salah satu dokumen yang harus diminta ketika para pekerja mengajukan pengunduran diri alias resign. Namun, bagaimana kalau kalian terlanjur resign sebelum meminta bukti potong ini? Apakah bisa melaporkan SPT tanpa bukti potong?
Apabila itu yang terjadi, maka pegawai tersebut dapat menghubungi kantor lama untuk meminta dokumen bukti potong pajak tersebut. Akun X @kring_pajak juga membeberkan cara lainnya untuk memperoleh dokumen ini.
Akun @kring_pajak menyebutkan bahwa bukti potong PPh yang telah dibuat pihak lain dapat dilihat di halaman pra Pelaporan DJP Online (account.pajak.go.id/pralapor). Dokumen itu dapat ditemukan di tabel Riwayat Pemotongan Pemungutan.
“Fitur tersebut saat ini masih dalam pengembangan, sehingga belum semua jenis bukti potong dapat ditampilkan,” tulis @kring_pajak dikutip pada Selasa (26/3/2024).
Akun @kring_pajak menulis apabila bukti potong yang dicari belum ditampilkan pada tabel ini, maka wajib pajak tersebut tetap harus melakukan konfirmasi kepada perusahaan pemotong Pajak Penghasilan (PPh) untuk meminta bukti potong.
Wajib pajak perlu mengetahui berbagai manfaat dokumen ini. Bukan hanya untuk kepentingan pelaporan SPT tahunan saja. Bukti potong pajak dari kantor lama itu juga bisa diberikan ke kantor baru untuk menyesuaikan penghitungan pemotongan PPh dalam SPT tahunan kalian.
“#KawanPajak dapat meminta bukti potong PPh dari pemberi kerja setelah resign dan membawa bukti potong PPh tersebut ke pemberi kerja yang baru untuk penyesuaian penghitungan pemotongan PPh dalam SPT Tahunan,” dikutip dari akun instagram @ditjenpajakri, dikutip Selasa (26/3/2024).
Apa Itu Bukti Potong?
Sebagai informasi, bukti potong pajak itu juga punya landasan ketentuannya tersendiri, sebagaimana termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 12/PMK.03/2017 yang telah ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sejak 7 Februari 2017.
Pada Pasal 1 PMK No. 12/2017 itu disebutkan bahwa Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) adalah dokumen berupa formulir atau dokumen lain yang dipersamakan, yang dibuat oleh Pemotong PPh sebagai bukti atas pemotongan PPh yang dilakukan dan menunjukkan besarnya PPh yang telah dipotong.
Pemotong atau Pemungut PPh pun diwajibkan oleh PMK ini membuat Bukti Pemotongan PPh atas pemotongan Pajak Penghasilan yang dilakukan; dan/ atau Bukti Pemungutan PPh atas pemungutan Pajak Penghasilan yang dilakukan. Bukti ini pun juga diwajibkan diberikan kepada pihak yang dipotong atau dipungut PPh-nya.
“Bukti Pemotongan PPh dan/ atau Bukti Pemungutan PPh dapat berbentuk formulir kertas (hard copy) atau dokumen elektronik,” dikutip dari Pasal 4 PMK itu.
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 16/PJ/2016 juga disebutkan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala paling lama 1 bulan setelah tahun kalender berakhir.
Pasal 23 ayat 2 Perdirjen itu pun mengingatkan, dalam hal Pegawai Tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember, bukti pemotongan PPh Pasal 21 harus diberikan paling lama 1 bulan setelah yang bersangkutan berhenti bekerja.
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 juga harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas pemotongan PPh Pasal 21 selain Pegawai Tetap dan penerima pensiun berkala, serta bukti pemotongan PPh Pasal 26 setiap kali melakukan pemotongan PPh Pasal 26.
Sumber : CNBC Indonesia