.mapouter{position:relative;text-align:right;height:500px;width:600px;}embedgooglemap.net.gmap_canvas {overflow:hidden;background:none!important;height:500px;width:600px;}
Home / News / Bohong Saat Lapor SPT, Apa Bisa Ketahuan Ditjen Pajak?

Bohong Saat Lapor SPT, Apa Bisa Ketahuan Ditjen Pajak?

Masa pelaporan surat pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak 2023 bagi wajib pajak (WP) orang pribadi akan berakhir pada 31 Maret 2024, sedangkan WP Badan pada 30 April 2024. Masyarakat harus segera melaporkan SPT Tahunannya secara benar.

Jika sampai akhir masa pelaporan para wajib pajak tak melaporkan SPT Tahunan, akan ada sanksi yang dikenakan pemerintah. Selain itu, bila SPT Tahunan yang dilaporkan tidak benar dan tidak lengkap, akan berurusan dengan pengadilan di meja hijau, sebab sanksinya bisa pidana.

Ini sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pasal 39 UU itu diantaranya menyebutkan bahwa setiap orang yang tidak menyampaikan SPT, atau isinya tidak benar maupun tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun.

Selain itu, akan dikenakan denda paling sedikit 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Ada beberapa contoh tindak pidana pajak tersebut yang ketahuan oleh Ditjen Pajak, hingga akhirnya dibawa ke meja hijau. Di antaranya ialah Pengusaha pengangkutan hasil tambang PT Bumi Sultra Jaya, Sulawesi Tenggara, Wardan harus mendekap di penjara dan membayar denda karena terbukti tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut dan menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar.

Hal ini sesuai dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kendari dengan nomor perkara 373/Pid.Sus/2023/PN Kdi, dikutip dari situs resmi Ditjen Pajak.

Dalam penjelasannya, Wardan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah tidak menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah dipungut untuk Masa Pajak Januari 2018 s.d. Maret 2018 dan Masa Pajak Juni 2018 s.d. Desember 2019, dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN Masa Pajak Januari 2018 s.d. Maret 2018 dan Masa Pajak Juni 2018 s.d. Desember 2019 yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sesuai dakwaan alternatif pertama Jaksa.

Atas ulahnya, negara mengalami kerugian Rp 4.308.472.793 dan diputuskan melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf i UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Majelis Hakim PN Kendari memvonis Wardan dengan pidana penjara enam bulan dan denda sebesar dua kali kerugian negara atau Rp.8.616.945.586. Terhadap vonis tersebut, Wardan harus melunasi Denda dalam waktu satu bulan. Jika tidak dilunasi, maka harta benda Wardan akan disita dan dilelang oleh Jaksa untuk membayar denda pemulihan kerugian negara. Apabila hasil lelang tidak mencukupi jumlah denda, maka Wardan dijatuhi hukuman penjara pengganti denda selama enam bulan.

Selain itu, ada juga seorang bos perusahaan yang bergerak di industri logam ditangkap Otoritas Pajak dan Polda Jawa Barat, karena diduga menjadi pengemplang pajak.

Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Barat III bersama Polda Jabar telah menyerahkan pengusaha berinsial BMS itu ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat melalui Kejaksaan Negeri Kabupaten Bogor.

“BMS adalah penanggungjawab PT IPK yang bergerak di industri logam. BMS merugikan negara sebesar Rp4,3 miliar sepanjang 2017 hingga 2018,” ucap Romadhaniah, Kepala kanwil DJP Jawa Barat III, dikutip dari siaran pers, Kamis (14/12/2023).

Otoritas Pajak, telah menetapkannya sebagai tersangka tindak pidana di bidang perpajakan yaitu modus tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dan/atau menyampaikan SPT yang isinya tidak benar atau tidak lengkap. Ia juga diduga tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut.

“Atas perbuatannya, tersangka terancam dipenjara paling singkat enam bulan dan paling lama enam tahun. Denda paling sedikit dua kali hingga empat kali dari jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar,” ucap Romadhaniah.

BMS diduga melanggar ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf c, d dan huruf i Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sumber : CNBC Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Top