Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto buka suara merespons banyaknya penolakan terhadap rencana pemerintah yang ingin menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025, dari yang saat ini sebesar 11%.
Airlangga menekankan, kenaikan tarif PPN itu sudah menjadi amanat undang-undang (UU) untuk dinaikkan pasa tahun depan, maka pemerintah hanya bisa melaksanakan. UU itu ialah Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
“Itu kan undang-undang, itu udah ditetapin undang-undang,” tegas Airlangga saat ditemui di kantornya, Jakarta, Kamis (21/3/2024).
Kalangan pengusaha dari berbagai sektor menjadi pihak yang menyatakan menolak rencana pemerintah untuk menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dari yang saat ini 11%, menjadi sebesar 12% pada 2025.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja misalnya, yang mengatakan, rencana kenaikan itu akan semakin membebani daya beli masyarakat, yang saat ini masih belum pulih dari dampak Pandemi Covid-19.
Tercermin dari konsumsi masyarakat yang turun pada penghujung 2023. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga pada kuartal IV-2023 hanya tumbuh 4,47% secara tahunan, turun dari kuartal III-2023 yang tumbuh 5,06%.
“Saya harapkan PPN 12% ini bisa sedikit ditunda karena kondisi kita, daya beli belum pulih sekali, jadi ini menjadi momen kurang tepat menjalankan PPN 12%,” kata Jemmy dalam program Closing Bell CNBC Indonesia, dikutip Senin (18/3/2024).
Senada, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Flamen Indonesia (APSYFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, kenaikan PPN di tengah rendahnya daya beli masyarakat bisa menekan pembelian produk industri manufaktur dalam negeri, yang penjualan untuk ekspornya juga tengah tertekan akibat perlambatan kondisi ekonomi global.
“Ini kan kita belum pulih, jadi industri manufakturnya perlu dikaji ulang ya, supaya industri manufakturnya tumbuh. Karenakan penyerapan tenaga kerja dan devisa ekspor beluk pulih, dan itu kalau PPN diberlakukan cepat ya pulihnya akan makin lama,” tegas Redma.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno bahkan mengusulkan, jika pemerintah memang ingin meningkatkan pendapatan negara di tengah lemahnya ekonomi masyarakat, jalan yang harus ditempuh bukan dengan menaikkan PPN, melainkan pajak penghasilan (PPh) badan.
“Saya malah punya usulan kenapa gak PPh Badan saja dinaikkan, karena itu kan setelah untung baru dibagi, kalau ini jadi beban semua baik produsen maupun ke konsumen,” tutur Benny.
“Kalau PPh Badan kan baru dari untung, kalau enggak untung enggak dibagi, jadi fair. Jalau ini kan enggak, mau untung mau rugi, baik produsen dan konsumen semua ikut memikulnya,” tegasnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani sebelumnya juga sudah mengusulkan supaya pemerintah tidak terburu-buru menaikkan tarif PPN menjadi sebesar 12%, sebagaimana amanat Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Ketimbang menaikkan tarif PPN pada 2025 menjadi 12% di tengah lemahnya daya beli masyarakat, Shinta mengusulkan supaya pemerintah mengurus perusahaan-perusahaan informal yang belum membayar pajak untuk menaikkan penerimaan negara.
“Jadi sebetulnya target yang sebenarnya pemerintah harus lakukan ekstensifikasi, itu menambah jumlah base pembayar pajak,” kata Shinta di kawasan Sopo Sopo Del Tower, Jakarta, Kamis (14/3/2024).
Shinta mengatakan, kebijakan ekstensifikasi atau perluasan cakupan wajib pajak harus dilakukan saat ini karena perusahaan informal masih sangat banyak. Akibatnya, mereka tak tercakup ke dalam perusahaan yang harus membayar pajak.
Apalagi, ia melanjutkan, dengan arah kebijakan PPN yang sebetulnya menyasar konsumsi masyarakat, malah bisa menekan daya beli. Dengan begitu, akan berimplikasi pada semakin menurunnya penjualan produk-produk industri, karena pembelinya makin sedikit.
“Dengan besarnya kelompok informal di Indonesia, ini yang agak sulit. Maka, bagaimana caranya mereka bisa masuk ke formal supaya bayar pajak, sebetulnya kuncinya di situ, karena kenaikan PPN ini cuma pengalihan ke konsumen,” ucapnya.
Sebagai informasi, berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% diubah menjadi 11% mulai berlaku pada 1 April 2022. Lalu, kembali dinaikkan menjadi sebesar 12% paling lambat pada 1 Januari 2025.
Kendati begitu, pemerintah memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5% dan maksimal 15% melalui penerbitan peraturan pemerintah atau PP setelah dilakukan pembahasan dengan DPR, sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat 3 UU PPN.
Pengacara kondang yang juga merupakan seorang pengusaha, Hotman Paris Hutapea turut mengomentari keputusan pemerintah yang akan menaikkan pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12% pada 2025.
Komentar itu Hotman sampaikan dalam akun instagram @hotmanparisofficial. Menurutnya, keputusan itu akan semakin membuat harga-harga barang dan jasa naik dan membebani masyarakat.
“Pajak naik lagi! Hai kau kau: jangan bilang rasain Hotman! Sebab pajak naik maka harga produk dan jasa naik dan akhirnya rakyat yang bayar! Pelajaran bagi yang tidak sadar,” tulis Hotman, dikutip Senin (11/3/2024).
Sumber : CNBC Indonesia