Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengaku lebih setuju pemerintah menaikkan tarif pajak penghasilan badan (PPh Badan), ketimbang tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%.
Benny menjelaskan, PPh Badan lebih baik dinaikkan pemerintah untuk mencari tambahan penerimaan pajak saat ketimbang PPN, karena pengenaan PPh Badan dibayarkan setelah catatan untung dari wajib pajak badan.
“Kenapa enggak PPh Badan saja dinaikkan, karena itu kan setelah untung baru dibagi,” dalam program Profit CNBC Indonesia, dikutip Selasa (19/3/2024).
Sementara itu, untuk PPN ia mengatakan semakin dinaikkan malah akan menekan daya beli masyarakat di tengah tekanan pendapatannya yang terus menerus tergerus inflasi. Pengusaha pun akan terimbas karena penjualan produknya akan semakin merosot.
“(PPN) ini jadi beban semua baik produsen maupun ke konsumen,” ucap Benny.
“Kalau PPh Badan kan baru dari untung, kalau enggak untung enggak dibagi, jadi fair. Kalau ini kan enggak, mau untung, mau rugi, baik produsen dan konsumen semua ikut memikulnya,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga menilai pemerintah harus membatalkan rencana kenaikan PPN menjadi 12% pada 2025 dari yang saat ini sebesar 11% tarifnya.
Bhima menganggap, pemerintah sebaiknya menerapkan pajak kekayaan, ketimbang menaikkan PPN di tengah melambatnya tren konsumsi masyarakat. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga pada kuartal IV-2023 hanya tumbuh 4,47% secara tahunan, turun dari kuartal III-2023 yang tumbuh 5,06%.
“Jadi pemerintah sebaiknya mulai membuka pembahasan pajak kekayaan (wealth tax), pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax) dan penerapan pajak karbon sebagai alternatif dibatalkannya PPN 12%,” kata dia, Senin, (18/3/2024).
Bhima mencontohkan penerapan pajak kekayaan. Dia bilang pemerintah bisa membuat kategori 10% wajib pajak dengan aset terbesar. Kemudian pemerintah dapat menentukan tarif pajak kekayaan yang dihitung dari aset yang dimiliki orang kaya tersebut.
“Contohnya tarif pajaknya 2% dari net asset atau kekayaan bersih, maka orang kaya dengan aset Rp 10 triliun akan dipajaki Rp 200 miliar per tahunnya,” kata Bhima.
Bhima menilai kenaikan tarif PPN bukan solusi untuk meningkatkan pendapatan negara. Dia mengatakan kebijakan ini justru lebih banyak mudaratnya pada pertumbuhan ekonomi.
“Pemerintah harus memikirkan kembali rencana kenaikan tarif PPN 12%, karena akan mengancam pertumbuhan ekonomi yang disumbang dari konsumsi rumah tangga,” kata dia.
Dia mengatakan jika konsumsi melambat, maka pendapatan negara dari berbagai pajak termasuk PPN justru akan terpengaruh. “Kalau mau dorong rasio pajak perluas dong objek pajaknya, bukan utak-atik tarif, menaikkan tarif pajak itu sama dengan berburu di kebun binatang,” kata dia.
Sebagai informasi, pemerintah berencana menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada tahun 2025. Kenaikan PPN menjadi 12% pada 2025 adalah amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Presiden Jokowi meneken UU baru tersebut sejak 29 Oktober 2021.
Bab IV UU HPP mengatur khusus mengenai Pajak Pertambahan Nilai alias PPN. Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% diubah menjadi 11% mulai berlaku pada 1 April 2022. Lalu, kembali dinaikkan menjadi sebesar 12% paling lambat pada 1 Januari 2025.
Sumber : CNBC Indonesia