Ekonom menilai rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 dilakukan untuk meningkatkan rasio perpajakan Indonesia. Pemerintah dinilai tidak kreatif karena menarik pajak dari sumber yang itu-itu saja.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai rencana kenaikan tarif PPN pada 2025 sebaiknya dibatalkan. Menurut dia, bila ingin mendorong rasio perpajakan, pemerintah harus memperluas objek pajak.
“Bukan utak-atik tarif, menaikkan tarif pajak itu sama dengan berburu di kebun binatang alias cara paling tidak kreatif,” kata Bhima dikutip Selasa (19/3/2024).
Istilah berburu di kebun binatang merujuk pada strategi intensifikasi pajak. Strategi ini dilakukan dengan cara memungut pajak lebih besar dari sumber yang sudah teridentifikasi. Kebalikan dari upaya intensifikasi adalah ekstensifikasi pajak, yaitu dengan cara memperluas objek pajak.
Kepastian mengenai kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 dikonfirmasi oleh Menteri Koordinator Airlangga Hartarto. Penerapan tarif baru ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan yang telah disahkan sejak 2021.
Undang-Undang itu memerintahkan agar tarif PPN dinaikkan menjadi 11% pada April 2022. Kenaikkan itu kini sudah dilakukan. UU juga memerintahkan agar tarif PPN kembali dinaikkan menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025.
Bhima menilai kenaikan pajak itu bukan hanya 1%. Bila diakumulasi, kata dia, kenaikan PPN dalam 4 tahun terakhir sudah mencapai 20%. “Ini kenaikan tarif PPN yang sangat tinggi bahkan dibandingkan akumulasi inflasi,” kata dia.
Dia mengatakan kelas menengah akan menjadi pihak yang paling merana karena kenaikan PPN ini. Kenaikan harga beras, suku bunga tinggi, dan sulitnya mencari pekerjaan, kata dia, sudah menyebabkan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah melemah. PPN 12%, kata dia, akan menyempurnakan tekanan ekonomi kepada kelas mayoritas ini.
“Sasaran PPN ini kelas menengah dan diperkirakan 35% konsumsi rumah tangga nasional bergantung dari konsumsi kelas ini,” kata dia.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai kenaikan PPN menjadi 12% pada 2025 tepat. Dia menimbang kondisi masyarakat yang sedang terhimpit inflasi bahan makanan.
“Menurut saya saat ini belum tepat,” kata dia.
Esther mengatakan kenaikan PPN bukan satu-satunya cara yang bisa diambil pemerintah untuk menaikan tax ratio. Dia mengatakan cara lain adalah dengan mengejar pajak progresif bagi Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).
Selain itu, Esther menilai pemerintah juga masih punya ruang untuk mengejar Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Dengan kata lain, Esther meminta pemerintah untuk mengejar pajak kelompok kaya terlebih dahulu. “Sehingga yang dikejar wajib pajak yang kaya terlebih dahulu,” ujar dia.
Sumber : CNBC Indonesia