Ekonom menilai masyarakat belum siap menghadapi kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Daya beli masyarakat belum pulih benar dari dampak Covid-19.
Peneliti senior Center of Reform on Economics (CORE) Ishak Razak mengatakan belum siapnya masyarakat menghadapi kenaikan PPN tercermin dari data konsumsi. Dia mengatakan sebelum pandemi, pertumbuhan konsumsi masyarakat Indonesia biasanya berkisar di angka 5% per tahun.
Saat pandemi, pertumbuhan konsumsi itu jatuh. Pada 2020, pertumbuhan konsumsi rumah tangga -2,63% (yoy). Lalu pada 2021, hanya tumbuh 2,01%. Pertumbuhan yang melambat itu masih bertahan di 2022 dengan 4,94% dan 4,82% pada 2023. “Kondisi masyarakat belum terlalu pulih konsumsinya, ini tercermin setelah pandemi,” kata Ishak dikutip pada Selasa, (19/3/2024).
Ishak mengatakan pemerintah seharusnya menunggu daya beli masyarakat pulih sebelum membuka opsi kenaikan PPN. Dia menilai idealnya pertumbuhan konsumsi masyarakat harus ada di level 5,5%-6%. “Seharusnya bisa sampai 5,5% atau 6%. Kalau pertumbuhan domestic konsumsinya sudah cukup tinggi, baru bisa dipertimbangkan untuk kenaikan PPN,” kata dia.
Sebelumnya, kepastian mengenai kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 dikonfirmasi oleh Menteri Koordinator Airlangga Hartarto. Penerapan tarif baru ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan yang telah disahkan sejak 2021.
Undang-Undang itu memerintahkan agar tarif PPN dinaikkan menjadi 11% pada April 2022. Kenaikan itu kini sudah dilakukan. UU juga memerintahkan agar tarif PPN kembali dinaikkan menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti juga menilai kenaikan PPN menjadi 12% pada 2025 belum tepat. Dia menimbang kondisi masyarakat yang sedang terhimpit inflasi bahan makanan.
“Menurut saya saat ini belum tepat,” kata dia.
Esther mengatakan kenaikan PPN bukan satu-satunya cara yang bisa diambil pemerintah untuk menaikkan tax ratio. Dia mengatakan cara lain adalah dengan mengejar pajak progresif bagi Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).
Undang-Undang itu memerintahkan agar tarif PPN dinaikkan menjadi 11% pada April 2022. Kenaikan itu kini sudah dilakukan. UU juga memerintahkan agar tarif PPN kembali dinaikkan menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti juga menilai kenaikan PPN menjadi 12% pada 2025 belum tepat. Dia menimbang kondisi masyarakat yang sedang terhimpit inflasi bahan makanan.
“Menurut saya saat ini belum tepat,” kata dia.
Esther mengatakan kenaikan PPN bukan satu-satunya cara yang bisa diambil pemerintah untuk menaikkan tax ratio. Dia mengatakan cara lain adalah dengan mengejar pajak progresif bagi Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).
Sumber : CNBC Indonesia