.mapouter{position:relative;text-align:right;height:500px;width:600px;}embedgooglemap.net.gmap_canvas {overflow:hidden;background:none!important;height:500px;width:600px;}
Home / News / Tolak PPN Naik, Pengusaha: Harusnya Kejar yang Tak Bayar Pajak

Tolak PPN Naik, Pengusaha: Harusnya Kejar yang Tak Bayar Pajak

Para pengusaha meminta pemerintah untuk mengurus perusahaan informal yang belum membayar pajak, ketimbang menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) pada 2025 sebesar 12%.

“Jadi sebetulnya target yang sebenarnya pemerintah harus lakukan ekstensifikasi, itu menambah jumlah base pembayar pajak,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani di kawasan Sopo Del Tower, Jakarta, Kamis (14/3/2024).

Shinta mengatakan, kebijakan ekstensifikasi atau perluasan cakupan wajib pajak harus dilakukan saat ini karena perusahaan informal masih sangat banyak. Akibatnya, mereka tak tercakup ke dalam perusahaan yang harus membayar pajak.

Apalagi, ia melanjutkan, dengan arah kebijakan PPN yang sebetulnya menyasar konsumsi masyarakat, malah bisa menekan daya beli. Dengan begitu, akan berimplikasi pada semakin menurunnya penjualan produk-produk industri, karena pembelinya makin sedikit.

“Dengan besarnya kelompok informal di Indonesia, ini yang agak sulit. Maka, bagaimana caranya mereka bisa masuk ke formal supaya bayar pajak, sebetulnya kuncinya di situ, karena kenaikan PPN ini cuma pengalihan ke konsumen,” ucapnya.

Meski begitu, Shinta mengakui, kenaikan PPN itu sudah menjadi amanat Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% diubah menjadi 11% mulai berlaku pada 1 April 2022. Lalu, kembali dinaikkan menjadi sebesar 12% paling lambat pada 1 Januari 2025.

Kendati begitu, pemerintah memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5% dan maksimal 15% melalui penerbitan peraturan pemerintah atau PP setelah dilakukan pembahasan dengan DPR, sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat 3 UU PPN.

“Cuma dengan kondisi sekarang ini memang pasti akan berdampak ke daya beli, karena itu kan basic-nya nanti kenaikan PPN kan, ini kan ke konsumen, jadi akan pengaruh ke daya beli konsumen,” ungkap Shinta.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya sudah mengakui sulit menaikkan angka rasio pajak di Indonesia yang tertinggal jauh dari negara-negara tetangga, seperti Thailand dan Filipina. Sebab, 47% sektor ekonomi tak masuk sebagai wajib pajak, termasuk industri informal.

Meski begitu, Shinta mengakui, kenaikan PPN itu sudah menjadi amanat Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% diubah menjadi 11% mulai berlaku pada 1 April 2022. Lalu, kembali dinaikkan menjadi sebesar 12% paling lambat pada 1 Januari 2025.

Kendati begitu, pemerintah memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5% dan maksimal 15% melalui penerbitan peraturan pemerintah atau PP setelah dilakukan pembahasan dengan DPR, sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat 3 UU PPN.

“Cuma dengan kondisi sekarang ini memang pasti akan berdampak ke daya beli, karena itu kan basic-nya nanti kenaikan PPN kan, ini kan ke konsumen, jadi akan pengaruh ke daya beli konsumen,” ungkap Shinta.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya sudah mengakui sulit menaikkan angka rasio pajak di Indonesia yang tertinggal jauh dari negara-negara tetangga, seperti Thailand dan Filipina. Sebab, 47% sektor ekonomi tak masuk sebagai wajib pajak, termasuk industri informal.

Sumber : CNBC Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Top