Sejumlah pakar pajak menilai, pembahasan ketentuan pajak hiburan khusus dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) yang menetapkan tarif 40%-75%, sudah bermasalah sejak pembahasan di DPR.
Konsultan pajak yang merupakan Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono mengatakan, permasalahan itu terletak dari minimnya pelibatan publik dalam pembahasannya, serupa dengan pembahasan UU Cipta Kerja, UU IKN, hingga UU KPK. Akibatnya, penolakan muncul dari masyarakat setelah UU itu jadi, bukan saat pembahasan.
“Memang pemerintah sekarang cenderung buat dulu RUU dengan naskah akademik yang kurang mendalam dan kurang komprehensif. Beberapa contohnya adalah UU CK 2020, UU IKN, dan UU KPK,” kata Prianto kepada CNBC Indonesia, Senin (29/1/2024).
“Keterlibatan diskusi publik tidak banyak. Sebagai konsekuensinya, misalnya ketika UU HKPD yang berlaku mulai 1 Januari 2022 harus diturunkan ke Perda, muncul penentangan di masyarakat,” tegasnya.
Prianto menekankan, yang paling penting dilibatkan adalah pihak yang menjadi regulatee atau pihak yang diatur oleh ketentuan itu. Nyatanya, pengusaha di sektor yang terdampak ketentuan pajak salam UU HKPD mengaku tak ada yang dilibatkan dalam pembahasannya, dan malah kini menjadi pihak yang menentang, bahkan mengajukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Apalagi, niatan pengenaan tarif pajak tinggi untuk pengusaha spa, diskotek, kelab malam, karaoke, dan bar itu kata Prianto karena bisnis usahanya tergolong mewah, dan pemerintah ingin mengendalikan jasa hiburan tersebut.
“Tidak tahu apakah UU HKPD sudah melibatkan pakar pajak dan atau stakeholders lainnya. Tapi pelibatan hanya pakar pajak pun tidak akan cukup karena mereka hanya fokus di konsep, asas, dan teori yang melandasi legal drafting. Jadi pelaku usaha juga harus dilibatkan karena mereka akan menjadi regulatee,” kata Prianto.
Senada, konsultan pajak yang merupakan Co-founder Botax Cunsulting Indonesia Raden Agus Suparman membenarkan bahwa, perumusan UU HKPD tidak banyak melibatkan pihak yang terkait, selain pemerintah khususnya Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan dan DPR. Akibatnya, besaran tarif yang tertera, seperti pajak hiburan khusus tidak rasional.
“Memang tarif 40% tidak rasional. Apalagi 75%. Hal ini karena dasar pengenaannya dari penghasilan bruto sebelum dikurangi biaya-biaya. Sudah sepantasnya jika pemerintah membatalkan tarif tersebut,” tegas Agus.
Agus menilai, insentif fiskal yang kini dijanjikan pun bukan solusi untuk mengurangi beban pajak tersebut, karena insentif fiskal itu bersifat sementara, dan tidak permanen. Maka, ia mendorong supaya Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu untuk membatalkan ketentuan UU HKPD.
“Solusi terbaik, pemerintah membuat Perppu pencabutan Pasal 58 ayat (2) UU No 1 tahun 2022 sehingga tarif PBJT, termasuk jasa hiburan, hanya dikenakan 10% saja,” ucapnya.
Sumber : CNBC Indonesia