Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan ingin menyeragamkan tata cara penghitungan pajak penghasilan (PPh) karyawan atau PPh Pasal 21 melalui rumus tarif efektif rata-rata atau TER.
Sebelum ada TER yang muncul melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023, DJP mencatat setidaknya ada 400 skenario penghitungan pemotongan pajak penghasilan dari pekerjaan, usaha, dan kegiatan yang diterima wajib orang pribadi.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan, beragamnya rumus penghitungan PPh 21 sebelum adanya TER karena variable pengurangnya sangat bervariasi, seperti iuran asuransi, pensiun, tunjangan jabatan, hingga bonus.
“Kita sebut ini skemanya jadi banyak sekali, variasinya banyak sekali, karena banyak sekali variabel yang harus dipertimbangkan ketika menghitung PPh Pasal 21 untuk karyawan,” kata Dwi dalam program Profit CNBC Indonesia, dikutip Selasa (30/1/2024).
“Sehingga, kemudian skema perhitungannya itu menjadi sangat beragam,” tegas Dwi.
Melalui skema TER yang mulai berlaku sejak Januari 2024, Dwi memastikan, rumusan penghitungan PPh menjadi lebih seragam di setiap kantor atau pemberi kerja. Di samping, juga memberi kemudahan perhitungan karena rumusnya hanya Penghasilan Bruto X %TER (kategori A/B/C) untuk masa pajak Januari-November, dan Desember rumus lama.
“Oleh karena itu, untuk lebih memberikan kepastian hukum, memberikan kemudahan, kami mengeluarkan aturan mengenai tarif efektif ini atau yang lebih dikenal dengan TER,” ucap Dwi.
Ia memastikan, dengan rumus terbaru itu, memang ada perubahan sedikit besaran potongan pajak penghasilan tiap bulannya dari mekanisme perhitungan lama.
Namun, untuk keseluruhan tahun, total potongan pajak penghasilan akan sama dengan skema penghitungan yang lama karena pada Desember akan dihitung ulang, dengan pengurangnya potongan pajak selama Januari-November.
“Tetapi, kalau ternyata dipotongnya yang Januari sampai dengan November itu lebih besar sedikit, enggak langsung besar-besar banget ya, lebih besar sedikit dari apa yang seharusnya, maka nanti di Desember itu akan dipotongnya lebih kecil dari yang biasanya dipotong di saat bulan Desember,” tegas Dwi.
Untuk mempermudah pemahaman skema TER, berikut ini contoh penghitungannya dengan perbandingan skema lama:
Tuan R bekerja pada perusahaan PT AC dan memperoleh gaji sebulan Rp 10.000.000 serta membayar iuran pensiun sebesar Rp 100.000 per bulan. Tuan R menikah dan tidak memiliki tanggungan atau PTKP dengan kategori K/0, maka:
1. Cara penghitungan lama:
Gaji = 10.000.000
Biaya Jabatan
5% x Rp 10.000.000 = 500.000
Iuran pensiun = Rp 100.000
Dengan begitu penghasilan neto sebulan Rp 9.400.000
Penghasilan neto setahun:
12 x Rp 9.400.000 = Rp 112.800.000
PTKP setahun = Rp 58.500.000
Penghasilan kena pajak setahun Rp 54.300.000
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp 54.300.000 = Rp 2.715.000
PPh Pasal 21 per bulan (Januari-Desember) = Rp 226.250
Rp 2.715.000:12 = Rp 226.250
Tuan R akan dipotong PPh 21 sebesar Rp 226.250 per bulan menggunakan perhitungan lama.
2. Perhitungan bulanan dengan TER
PPh Pasal 21 selain masa pajak terakhir (Januari-November):
Penghasilan bruto x %TER
Rp 10.000.000 x 2,00% = Rp 200.000 (Acuan 2% berdasarkan tabel TER A Baris No.9 dalam PP No. 58 Tahun 2023)
Tuan R akan dipotong PPh 21 sebesar Rp 200.000 per bulan selama Januari sampai November
Perhitungan PPh 21 masa pajak terakhir atau Desember:
Rp 2.715.000 (PPh Pasal 21 Terutang) – (11 x Rp 200.000) = Rp 515.000. (Rumus 11 x Rp 200.000 adalah PPh Pasal 21 yang telah dipotong selama Januari-November)
Tuan R akan dipotong PPh 21 sebesar Rp 515.000 pada Desember
Kesimpulan:
Dengan perbandingan ini, maka terlihat setoran pajak setahun R sama-sama Rp 2.715.000 setahun, baik saat menggunakan rumus lama PPh Pasal 21 di kantornya, maupun saat menggunakan rumus TER. Bedanya, dengan penghitungan lama tiap bulan potongan pajak penghasilannya Rp 226.250, sedangkan saat menggunakan TER selama Januari-November potongan pajaknya Rp 200.000 dan pada Desember menjadi Rp 515.000.
Sumber : CNBC Indonesia