Tarif pajak hiburan menjadi sorotan publik setelah mendapat kritikan dari pengacara kondang Hotman Paris hingga pedangdut Inul Daratista, yang juga pemilik Inul Vizta. Namun, tarif minimal 40% dan maksimal 75% yang diprotes itu tak berlaku bagi seluruh sektor industri atau usaha jasa hiburan.
Dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) sektor jasa hiburan yang dikenakan besaran tarif itu hanya untuk jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa. Sisanya, di luar itu paling tinggi sebesar 10%.
“Tarif tersebut hanya berlaku untuk jasa hiburan berupa diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa. Dengan kata lain, tarif pajak hiburan selain itu masih tetap 10% paling tinggi,” ucap Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono kepada CNBC Indonesia, Senin (15/1/2024).
Sektor usaha hiburan yang bisa dikenakan tarif hingga 75% itu sebetulnya juga berkurang dibanding ketentuan lama, yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).
Pasal 45 UU itu menyebutkan khusus untuk hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif pajaknya dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75%.
Dalam UU PDRD pun tarif pajak hiburan di luar sektor khusus itu ditetapkan paling tinggi sebesar 35%, lebih tinggi dari tarif di UU HKPD yang sebesar 10% khusus untuk di luar jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa. Pagelaran busana, kontes kecantikan, permainan ketangkasan, dan panti pijat pun dikeluarkan dari UU HKPD.
Prianto menekankan, artinya besaran tarif yang meningkat dalam UU HKPD karena ada batasan minum 40% itu akan mempengaruhi konsumsi di sektor tersebut. Karena, pajak selain berfungsi untuk meningkatkan penerimaan APBN/APBD), juga fungsi untuk mengatur perilaku masyarakat.
“Memang tarif tersebut cukup tinggi sehingga berpotensi penurunan konsumsi masyarakat atas hiburan,” tegas Prianto.
Pernyataan serupa disampaikan Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis atau CITA Fajry Akbar. Bahkan ia memperkirakan, daerah yang penerimaannya bergantung pada sektor usaha hiburan yang terdampak tarif itu akan terdampak.
“Daerah yang ekonominya bergantung pada wisata hiburan malam seperti Bali, tarifnya jangan terlalu tinggi agar mampu bersaing dengan sektor pariwisata luar. Kalau tak salah, bali sebelumnya punya tarif 15%. Lalu naik menjadi 40%-75%, wajarlah mereka pada protes. Yang mejadi biang masalah adalah penentuan tarif minimum 40%,” tutur Fajry.
Sumber : CNBC Indonesia