Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) telah dilaporkan ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji materiil, karena adanya batas minimal tarif pajak hiburan yang termasuk ke dalam objek Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) sebesar 40%.
Pajak hiburan dalam UU HKPD itu pun mendapat sorotan dari berbagai pihak, karena besaran tarif untuk sektor usaha hiburan tertentu dikenakan tarif PBJT minimal 40% dan maksimal 75%. Protes keras di antaranya disampaikan pengacara kondang Hotman Paris Hutapea hingga pedangdut Inul Daratista.
Selain soal pajak hiburan, uji materiil juga sudah dilakukan terhadap UU HKPD terkait ketentuan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), terutama BPHTB waris dan pemisah hak karena ketidakjelasan rumusan Pasal 44 ayat (2) huruf a angka 7 dan Pasal 49 huruf b UU HKPD.
Lantas, apa saja isi dari UU HKPD?
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Luky Alfirman dalam berbagai kesempatan menjelaskan, keberadaan UU HKPD ini tujuannya untuk reformasi desentralisasi ekonomi dan fiskal, membangun pusat-pusat ekonomi di daerah, hingga peningkatan pemerataan.
“Kita ingin memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah,” kata Luky saat media briefing beberapa waktu lalu di kawasan Menteng, Jakarta, dikutip Selasa (16/1/2024).
Maka, UU HKPD juga melakukan pembenahan terhadap ketentuan transfer ke daerah (TKD) berbasis kinerja, sebagaimana ditetapkan secara rinci pada Bab III UU HKPD mulai dari pasal 106. Misalnya, penggunaan dana bagi hasil (DBH) sawit yang diarahkan untuk penanganan dampak negatif aktivitas perkebunan sawit sambil memperhatikan kebutuhan daerah.
Selain itu, Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan untuk pemerataan kemampuan keuangan sekaligus kualitas layanan publik di daerah.
“Pagu nasional DAU ditetapkan dengan mempertimbangkan kebutuhan pelayanan publik sebagai bagian dari pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah; kemampuan Keuangan Negara; pagu TKD secara keseluruhan; dan target pembangunan nasional,” dikutip dari Pasal 126 UU HKPD.
UU HKPD juga memperbaiki ketentuan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan penguatan pertimbangan untuk mendukung peningkatan pendapatan daerah dan menjaga akses masyarakat atas layanan dasar wajib, kemudahan berusaha, serta memperkenalkan skema Opsen atau piggyback tax untuk memberikan kepastian penerimaan daerah pemungut tanpa menambah beban wajib pajak.
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini diatur secara rinci dalam Bab II UU HKPD. Pada Pasal 4 ditetapkan jenis pajak yang dipungut oleh pemerintahan provinsi, hingga kabupaten atau kota. Di tingkat pemprov diperkenalkan pungutan opsen pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB), sedangkan di tingkat pemkab/pemkot opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), dan opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).
Di samping berbagai pengaturan untuk menguatkan penerimaan asli daerah itu, dari sisi belanja UU HKPD juga didesain untuk meningkatkan kualitasnya. Di antaranya melalui skema simplifikasi dan sinkronisasi penganggaran belanja sesuai program prioritas daerah.
UU HKPD mengamanatkan penyusunan belanja daerah didasarkan atas standar harga seperti dalam Pasal 143, serta mengatur batasan belanja pegawai sebesar maksimal 30% pada Pasal 146, dan belanja infrastruktur layanan publik minimal 40% pada Pasal 147 supaya APBD memberikan kemanfaatan bagi masyarakat di daerah.
Pembiayaan melalui utang di daerah pun menjadi objek pengaturan UU HKPD. Di antaranya arahan supaya pembiayaan utang daerah dilakukan untuk mendorong percepatan penyediaan infrastruktur serta penyederhanaan mekanisme pembiayaan.
Di antaranya mengintegrasikan persetujuan DPRD dengan pembahasan APBD sambil tetap menjaga kehati-hatian dan mendorong bentuk lain pembiayaan yang berbasiskan sinergi pendanaan maupun kerja sama dengan pihak swasta, BUMN, BUMD, ataupun antar pemda.
Pasal 154 UU HKPD menyebutkan bahwa pembiayaan utang daerah terdiri atas pinjaman daerah, obligasi daerah, dan sukuk daerah. Pinjaman daerah itu sendiri bisa bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, ataupun lembaga keuangan bukan bank.
“Pemerintah Daerah dilarang melakukan Pembiayaan langsung dari pihak luar negeri, dan nilai bersih maksimal Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam 1 (satu) tahun anggaran terlebih dahulu mendapat persetujuan DPRD,” dikutip dari Pasal 154.
Di luar itu, UU HKPD mengatur skema sinergi fiskal nasional untuk kesinambungan fiskal. Antara lain penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan daerah, kebijakan penetapan batas kumulatif defisit dan pembiayaan utang Daerah, serta sinergi sistem informasi termasuk penggunaan bagan akun standar, sebagaimana ditetapkan pada Pasal 169.
“Pemerintah Daerah menyinergikan kebijakan pembangunan dan kebijakan fiskal Daerah dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional, rencana kerja pemerintah, kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, arahan Presiden, dan peraturan perundang-undangan,” dikutip dari Pasal 170.
Sumber : CNBC Indonesia