Anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas pada suatu lembaga atau industri harus membayar pajak penghasilan sebagaimana selama ini. Meskipun imbalan yang menjadi penghasilannya diperoleh secara tidak teratur.
Ketentuan ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 dan aturan turunannya, yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023 yang berlaku sejak 1 Januari 2024.
Meski begitu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti menekankan, aturan baru itu bukan berarti ada pengenaan pajak baru bagi mereka, melainkan sebatas mengubah penghitungan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 nya saja yang menggunakan tarif efektif rata-rata (TER).
“Bukan pajak baru tidak ada tambahan beban pajak baru. Ini semata-mata kemudahan oleh pemerintah dalam menghitung PPh Pasal 21,” kata Dwi di kantornya saat media briefing, Jakarta, dikutip Selasa (9/1/2024).
Dalam PMK 168/2023 disebutkan bahwa dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas yang menerima atau memperoleh penghasilan secara tidak teratur.
Adapun PPh Pasal 21 yang wajib dipotong bagi anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas yang menerima atau memperoleh penghasilan secara tidak teratur dalam satu masa pajak sebesar tarif efektif bulanan dikalikan dengan dasar pengenaan dan pemotongan.
Tarif efektif bulanan ini pun telah termuat dalam lampiran PP 58/2023 berbentuk tabel, terdiri dari kategori A, B, dan C tergantung penghasilan bruto bulanan yang diterima dengan status penghasilan tidak kena pajak tergantung status perkawinan, hingga jumlah tanggungan.
Pada skema penghitungan yang lama, rumus perhitungan tarif PPh Pasal 21 dewan komisaris yang tidak merangkap pegawai tetap ialah tarif Pasal 17 UU PPh x penghasilan bruto (kumulatif). Lalu, dengan adanya PP 58/2023 dan PMK 168/2023, rumusnya menjadi lebih sederhana, yakni TER Bulanan x penghasilan bruto.
Berikut ini contoh penghitungannya, sebagaimana termuat dalam PMK 168/2023:
Tuan P adalah seorang komisaris di PT K.
Selama tahun 2024, Tuan P hanya menerima atau memperoleh penghasilan dari PT K di bulan Desember 2024.
Tuan P berstatus tidak menikah dan tidak memiliki tanggungan.
Pada bulan Desember 2024, Tuan P menerima atau memperoleh honorarium sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Berdasarkan status Penghasilan Tidak Kena Pajak (TK/0) dan jumlah bruto honorarium sebesar Rp60.000.000, besarnya PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan P pada bulan Desember 2024, dihitung berdasarkan tarif efektif bulanan kategori A sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi, yaitu dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen).
Besarnya pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas honorarium yang diterima atau diperoleh Tuan P pada bulan Desember 2024 adalah sebesar 20% x Rp 60.000.000,00 = Rp12.000.000,00.
Catatan:
1. Pada bulan Desember 2024, PT K harus memotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Tuan P sebesar Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan membuat bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk Tuan P.
2. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dipotong oleh PT K sebesar Rpl2.000.000,00 (dua belas juta rupiah) tersebut merupakan kredit pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Tahun Pajak 2024 Tuan P.
Sumber : CNBC Indonesia