Pasangan calon presiden dan wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskanda serta Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka ingin membentuk Badan Penerimaan Negara jika menang Pilpres 2024. Negara lain ternyata sudah lebih dahulu memiliki badan tersebut.
Hal ini diungkapkan oleh analis senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita. Menurutnya sejumlah negara yang memiliki badan khusus penerimaan itu di antaranya Bangladesh, Pakistan, Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, hingga Australia.
Ia menyebutkan, Bangladesh memiliki lembaga itu dengan nama National Board of Revenue (NBR), dan Pakistan dengan nama Federal Board of Revenue. Amerika Serikat dengan nama Internal Revenue Service (IRS), Singapura dengan Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS), Malaysia dengan Lembaga Hasil Dalam Negeri (LHDN), serta Australia dengan Australian Taxation Office (ATO).
“Banglades adalah salah satu negara yang punya kelembagaan fiskal semacam itu. Namanya National Board of Revenue (NBR). Dalam bahasa Indonesia, artinya setara dengan Badan Penerimaan Negara,” kata Ronny kepada CNBC Indonesia, Senin (30/10/2023).
Menurut Ronny, dengan adanya badan khusus penerimaan di negara lain itu, maka kedua capres bisa mempelajari sisi positif dan negatif dalam pembentukannya. Ia mencontohkan cerita sukses Bangladesh dalam pembentukan NBR menjaga sisi penerimaan, maupun sisi negatif dari sisi tak kunjung tingginya tax ratio atau rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) negara ini.
“Menarik karena kedua pasangan mengaitkan badan ini dengan kondisi rasio penerimaan pajak kita yang masih rendah di satu sisi, dan bermaksud untuk menjadikan badan tersebut sebagai salah satu solusi dalam meningkatkan rasio penerimaan pajak negara kita di sisi lain,” ungkap Ronny.
Ronny memaparkan, kinerja NBR terbilang berhasil menggenjot pajak Banglades melalui upaya optimalisasi penerimaan negara dari pajak pertambahan nilai (PPN), pajak impor, hingga pengurangan upaya penghindaran pajak atau Tax Evasion.
Sebab, meski dari sisi level rasio pajak hanya di level 8% per akhir 2022 atau jauh lebih rendah dari level rasio pajak Indonesia pada 2022 yang sebesar 10,39%, dari sisi keberlanjutan menjaga pertumbuhan level rasio pajaknya menurut Ronny NBR patut dijadikan contoh.
“Sempat mencapai 9,6% pada 2015, lalu terus turun. Tapi dalam tiga tahun terakhir, NBR berhasil menggenjot tax rationya secara cukup signifikan. Pada saat pandemi, tax ratio Banglades sempat turun ke 6,9 persen pada 2020, dalam dua tahun NBR berhasil menaikannya menjadi 8%,” tutur Ronny.
Berbeda dengan Ronny, kalangan akademisi di universitas mengkritisi rencana kedua calon pemimpin Indonesia itu dalam membentuk badan khusus penerimaan negara atau dengan artian seperti rencana pemisahan Direktorat Jenderal Pajak dari Kementerian Keuangan. Rencana ini sebetulnya juga pernah bergulir pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
“Ini secara institusi itu kelihatannya menarik ya ada di bentuk badan sendiri. Tapi jangan lupa kita punya pengalaman yang tidak baik dengan banyaknya badan, karena ada kultur organisasi yang tidak efisien, siapapun pemerintahannya,” ucap Wahyu.
Ia pun berpendapat, sebetulnya kinerja Kemenkeu dengan reformasi birokrasinya sudah sangat baik dalam mereformasi direktorat yang bertanggung jawab pada penerimaan negara, seperti Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, hingga Direktorat Jenderal Anggaran untuk penerimaan negara bukan pajak.
Ia menganggap, yang dibutuhkan Indonesia saat ini untuk mengoptimalkan penerimaan negara dan mendorong peningkatan tax ratio adalah perbaikan data wajib pajak serta mengurangi beban tarif dan administrasi perpajakan.
“Dengan itu, ekspektasi jangka menengah panjang ekonomi tumbuh cepat. Penyerapan penciptaan tenaga kerja juga akan lebih baik, sehingga setelah itu pendapatan pajak akan lebih tinggi, karena baiknya size dari ekonomi,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai kelembagaan khusus itu tidak akan signifikan menaikkan penerimaan pajak, karena masalahnya bukan di kelembagaan. Sebab, dengan reformasi DJP, tax ratio telah mampu tumbuh dua digit.
“Kalau kita lihat di fiskal kan tax ratio kita itu 10,4% pada 2022, kalau Anies itu targetnya 13-16%, Ganjar-Mahfud tidak ada tax ratio. Tapi kan ini luar biasa lompatannya, tentu saja kalau kita lihat menurut saya bukan tergantung kelembagaannya,” kata Tauhid.
Ia menganggap, yang perlu dilaksanakan pemerintahan mendatang adalah menjaga konsistensi reformasi pajak di Direktorat Jenderal Pajak untuk terus fokus melaksanakan intensifikasi maupun ekstensifikasi pajak, hingga reformasi penegakan hukum. Reformasi ini menurutnya lebih efisien dalam mendorong penerimaan pajak dan tax ratio ketimbang membentuk lembaga baru.
“Saya kira karena reformasi perpajakan itu sudah mulai dilakukan dari perluasan intensifikasi perpajakan ya, kemudian ekstensifikasi ada sumber-sumber pajak yang selama ini belum terbayar, belum tergali misalnya soal digital, e-commerce dan sebagainya termasuk penggunaan teknologi,” tegas Tauhid.
Pernyataan serupa disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Isu pembentukan badan penerimaan yang selalu muncul setiap pemilu itu memang ada sisi positifnya dari sisi kewenangan yang lebih luas dalam pengambilan kebijakan pajak.
“Misalnya mau terapkan pajak karbon, ya langsung bisa dieksekusi. Kemudian mau kejar pajak kekayaan (wealth tax) juga bisa lebih cepat masuk kantong penerimaan negara. Apalagi mau kejar rasio pajak 18-25% di 2045 dan Indonesia mau jadi negara anggota OECD yang rasio pajaknya tinggi butuh lembaga perpajakan yang superpower,” ucap Bhima.
Selain itu, koordinasi antara lembaga Badan Penerimaan Pajak itu juga akan lebih fleksibel karena kedudukannya di bawah langsung presiden. Bahkan, lembaga yang menjadi otoritas pajak itu juga bisa langsung berkoordinasi dengan DPR untuk memperkuat strategi perpajakan dan menetapkan target pajak.
Namun, ia mengingatkan, kelemahan pembentukan lembaga itu ada pada proses pemisahan yang butuh waktu tidak sebentar. Ego sektoral di Kementerian Keuangan juga muncul karena ketika lembaga seperti DJP keluar dari Kemenkeu maka hilang sebagian wewenang menteri keuangan.
“Padahal soal rancangan APBN dirumuskan bersama dirjen dan lembaga di bawah kendali menkeu. Kemudian anggaran untuk pemisahan DJP juga tidak murah. Namanya bikin lembaga baru pasti ada biayanya, tapi biaya tadi sebenarnya sepadan dengan potensi penerimaan perpajakan yang lebih besar pasca pemisahan DJP dari Kemenkeu,” ucap Bhima.
Sumber : CNBC Indonesia