Pasangan calon presiden Anies Baswedan dan calon wakil presiden Muhaimin Iskandar berencana merealisasikan pembentukan Badan Penerimaan Negara jika menang Pilpres 2024.
Namun, rencana itu mendapat kritikan dari sejumlah ekonom. Salah satunya terkait efektifitas lembaga itu dalam mendorong rasio pajak atau tax ratio yang merupakan perbandingan atau persentase penerimaan pajak terhadap nominal produk domestik bruto (PDB) suatu negara, seiring dengan biaya yang akan keluar.
Salah satu kritikan itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad. Menurutnya, kelembagaan khusus itu tidak akan signifikan menaikkan penerimaan pajak, karena masalahnya bukan di kelembagaan.
“Kalau kita lihat di fiskal kan tax ratio kita itu 10,4% pada 2022, kalau Anies itu targetnya 13-16%, Ganjar-Mahfud tidak ada tax ratio. Tapi kan ini luar biasa lompatannya, tentu saja kalau kita lihat menurut saya bukan tergantung kelembagaannya,” kata Tauhid kepada CNBC Indonesia dikutip Kamis (26/10/2023).
Dari sisi kelembagaan, Tauhid mengatakan, Kementerian Keuangan sebetulnya sudah sangat gencar melakukan reformasi terhadap lembaga pemungut pajak, yakni Direktorat Jenderal Pajak (DJP), khususnya dari aspek intensifikasi maupun ekstensifikasi pajak.
“Saya kira karena reformasi perpajakan itu sudah mulai dilakukan dari perluasan intensifikasi perpajakan ya, kemudian ekstensifikasi ada sumber-sumber pajak yang selama ini belum terbayar, belum tergali misalnya soal digital, e-commerce dan sebagainya termasuk penggunaan teknologi,” tegas Tauhid.
Kemudian, dari sisi reformasi penegakan hukum juga tengah dijalankan pemerintah. Oleh sebab itu ia menilai, reformasi itu yang kini perlu diperkuat tanpa harus menambah beban anggaran baru untuk membentuk lembaga seperti Badan Penerimaan Negara, meski dari sisi penguatan kebijakan akan lebih kuat jika badan itu terbentuk.
“Tapi problemnya cost-nya ketika terpisah semakin tinggi pasti akan tambah personil, kedua punya otoritas lebih tinggi, ini terkait kontrolnya dan sebagainya. Strukturnya akan melebar, dan sebagainya, pasti akan naik posisi orang tadinya eselon 1 jadi selevel menteri,” ucap Tauhid.
Dari sisi kelembagaan, Tauhid mengatakan, Kementerian Keuangan sebetulnya sudah sangat gencar melakukan reformasi terhadap lembaga pemungut pajak, yakni Direktorat Jenderal Pajak (DJP), khususnya dari aspek intensifikasi maupun ekstensifikasi pajak.
“Saya kira karena reformasi perpajakan itu sudah mulai dilakukan dari perluasan intensifikasi perpajakan ya, kemudian ekstensifikasi ada sumber-sumber pajak yang selama ini belum terbayar, belum tergali misalnya soal digital, e-commerce dan sebagainya termasuk penggunaan teknologi,” tegas Tauhid.
Kemudian, dari sisi reformasi penegakan hukum juga tengah dijalankan pemerintah. Oleh sebab itu ia menilai, reformasi itu yang kini perlu diperkuat tanpa harus menambah beban anggaran baru untuk membentuk lembaga seperti Badan Penerimaan Negara, meski dari sisi penguatan kebijakan akan lebih kuat jika badan itu terbentuk.
“Tapi problemnya cost-nya ketika terpisah semakin tinggi pasti akan tambah personil, kedua punya otoritas lebih tinggi, ini terkait kontrolnya dan sebagainya. Strukturnya akan melebar, dan sebagainya, pasti akan naik posisi orang tadinya eselon 1 jadi selevel menteri,” ucap Tauhid.
Sumber : CNBC Indonesia