Kebijakan-kebijakan baru untuk menopang pendapatan negara pada 2024 belum akan efektif mendukung pundi-pundi penerimaaan begara.
Ada sejumlah risiko yang pemerintah perkiraan membuat berbagai kebijakan penerimaan perpajakan baru, baik di sektor pajak ataupun bea cukai belum optimal tahun depan.
Risiko ini pemerintahan Presiden Joko Widodo petakan ke dalam risiko implementasi kebijakan pendapatan negara, sebagaimana termuat dalam Buku Nota Keuangan beserta RAPBN 2024. Namun, signifikansi dari risiko ini pemerintah klasifikasikan kecil berdampak ke APBN meski potensi terjadinya pada level mungkin.
Kebijakan ini sebetulnya diarahkan untuk mengejar target penerimaan negara yang telah pemerintah masukkan ke dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024 sebesar Rp 2.781,3 triliun, naik dari proyeksi realisasi pendapatan negara dalam APBN pada 2023 yang sebesar Rp 2.637,2 triliun.
“Dalam rangka mengoptimalkan pendapatan negara tahun 2024, Pemerintah menjalankan beberapa kebijakan,” dikutip dari Buku Nota Keuangan tersebut, Senin (21/8/2023).
Kebijakan-kebijakan mendorong pendapatan negara itu di antaranya reformasi perpajakan melalui implementasi Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), seperti memperluas basis data perpajakan dengan memanfaatkan data program pengungkapan sukarela (PPS), integrasi NIK sebagai NPWP mulai 1 Januari 2024, hingga pemanfaatan sistem inti administrasi perpajakan atau core tax system.
Adapun risiko pelaksanaan dari berbagai kebijakan itu adalah penyusunan peraturan turunan dari UU HPP yang membutuhkan waktu panjang sehingga belum selesai seluruhnya pada 2024; implementasi peraturan turunan dari UU HPP membutuhkan waktu sosialisasi untuk dapat diterapkan secara efektif; hingga resistensi masyarakat atas peraturan turunan dari UU HPP.
Di sisi lain, belum optimalnya pemanfaatan data yang diperoleh dari program PPS, integrasi NIK sebagai NPWP, dan pertukaran data untuk penggalian potensi pajak karena kualitas data yang kurang memadai; serta dibutuhkan waktu adaptasi bagi pegawai maupun wajib pajak terhadap sistem inti administrasi perpajakan yang baru.
Selain itu, Pemerintah juga berupaya meningkatkan tax ratio melalui penggalian potensi peningkatan basis perpajakan melalui implementasi pemungutan objek cukai baru berupa produk plastik dan Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK). Namun, kebijakan ini pemerintah anggap memiliki risiko belum terlaksana pada 2024.
“Implementasi kebijakan ini memiliki risiko belum dapat dilaksanakan pada tahun 2024 apabila proses penyusunan regulasi masih mengalami tantangan sehubungan dengan berbagai pertimbangan terutama daya beli masyarakat,” sebagaimana tertulis dalam Buku Nota Keuangan.
Pemerintahan Presiden Jokowi menekankan, berbagai kebijakan pendapatan negara yang diimplementasikan diperkirakan mempunyai dampak risiko yang kecil dengan level kemungkinan (likelihood) yang mungkin. Kendati begitu, berbagai upaya mitigasi risiko agar level dampak risiko menjadi sangat kecil tetap dirancang supaya pendapatan perpajakan dapat terjaga sesuai dengan target yang ditetapkan.
Mitigasi yang dilakukan antara lain sosialisasi peraturan turunan UU HPP dilakukan secara komprehensif dengan menggunakan berbagai media dan platform untuk dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat; penguatan koordinasi antar instansi dalam melakukan pertukaran data yang berkualitas dalam peningkatan basis data perpajakan; serta pelatihan pegawai secara masif dan berkesinambungan agar pemanfaatan sistem baru dapat optimal.
Sumber : CNBC Indonesia