.mapouter{position:relative;text-align:right;height:500px;width:600px;}embedgooglemap.net.gmap_canvas {overflow:hidden;background:none!important;height:500px;width:600px;}
Home / News / Pajak & Utang Jadi PR Berat! Pak Anies, Ganjar, Prabowo Bisa?

Pajak & Utang Jadi PR Berat! Pak Anies, Ganjar, Prabowo Bisa?

Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sadar betul bahwa akan ada banyak tantangan sekaligus pekerjaan rumah (PR) berat yang harus diselesaikan oleh Presiden Indonesia periode 2024-2028.

Salah satu hal yang menjadi perhatian pemerintah dalam menghadapi tantangan di 2024 adalah adanya tantangan pemungutan pajak akibat transisi ekonomi, serta terhadap pembiayaan utang.

Berbagai risiko fiskal telah digambarkan secara detail di dalam Buku Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun 2024.

Dinamika perekonomian global masih dibayangi risiko ketidakpastian. Ketidakpastian tersebut dipicu oleh perlambatan ekonomi global yang diperkirakan hanya tumbuh 2,8%.

Inflasi yang masih persisten tinggi, berlanjutnya pengetatan kebijakan moneter yang berpotensi meningkatkan cost of fund, meningkatnya tensi geopolitik serta fragmentasi global menyebabkan melemahnya prospek ekonomi global.

“Kondisi perekonomian global yang penuh dengan ketidakpastian selama tahun 2023 merupakan hal yang perlu diwaspadai,” jelas pemerintah di dalam Buku KEM PPKF Tahun 2024, dikutip Rabu (24/5/2024).

Pemerintah menyebut, prospek penerimaan perpajakan diperkirakan membaik di tahun 2024 seiring dengan membaiknya perekonomian. Namun masih terdapat risiko akibat ketidakpastian ekonomi global.

Tantangan jangka menengah-panjang juga tinggi, baik dari global geopolitical power shift maupun dari kebijakan pengendalian emisi karbon. Sebagai contoh, implementasi CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism).

CBAM adalah instrumen yang dikenakan bea masuk terhadap produk impor ke negara Uni Eropa apabila proses produksinya dianggap menimbulkan emisi CO2.

Penerapan CBAM di Uni Eropa tentu berdampak negatif pada kinerja ekspor industri/sektor tertentu antara lain semen, alumunium, besi baja, dan kimia dari negara berkembang termasuk Indonesia.

“Hal ini akan berimbas pada penerimaan perpajakan yang berasal dari industri/sektor tersebut,” jelas pemerintah.

Selain itu, Presiden RI periode 2024-2028 juga akan menghadapi tantangan pemungutan pajak akibat transisi ekonomi. Pertumbuhan sektor manufaktur yang diikuti oleh peningkatan pertumbuhan sektor barang dan jasa informal, dan tren shifting konsumsi berbasis digital juga terus berlanjut.

Praktik perdagangan secara digital di satu sisi berdampak positif terhadap efisiensi perekonomian, namun di sisi lain dapat menyebabkan peningkatan shadow economy. “Dengan kondisi sistem administrasi perpajakan saat ini, terdapat risiko kehilangan basis pajak (tax base) khususnya PPN dan PPh Badan.”

Pada 2021 dan 2022, tingginya harga komoditas unggulan Indonesia seperti sawit, batubara, tembaga, migas dan lainnya berkontribusi terhadap Pajak Migas, PPh Badan, PPN, maupun Bea Keluar.

Namun demikian, pada 2024 harga komoditas diperkirakan mengalami moderasi meskipun volatilitasnya masih tinggi yang akan berdampak pada penerimaan pajak. Pemerintah menyebut, terdapat risiko jangka panjang penurunan permintaan global dari beberapa komoditas unggulan Indonesia.

Oleh karena itu, pemerintahan Presiden Jokowi di dalam KEM PPKF Tahun 2024 menyarankan, perlunya menyiapkan langkah-langkah dalam menghadapi tekanan pada penerimaan pajak khususnya PPh Migas, PPh Badan, dan PPN.

Risiko Pengelolaan Utang RI Setelah Kepemimpinan Jokowi

Utang pemerintah pusat merupakan salah satu sumber risiko fiskal. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal yang ekspansif dengan menggunakan belanja sebagai pendorong perekonomian.

Kebijakan tersebut berdampak pada timbulnya defisit anggaran, yang kemudian harus ditutup dengan pembiayaan utang.

“Risiko yang ada dalam pengelolaan utang mencakup risiko tingkat bunga, risiko nilai tukar, risiko pembiayaan kembali (refinancing), dan risiko kekurangan pembiayaan,” jelas pemerintah di dalam Buku KEM PPKF Tahun 2024.

Kendati demikian, pemerintah meyakini bahwa risiko tingkat bunga (interest rate risk) masih dalam batas wajar dan dapat dikelola dengan baik. Sebab, SBN yang diterbitkan melalui skema burden sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI), baik melalui SKB II 2020 dan SKB III 2021, bunganya ditanggung oleh BI.

Dengan demikian, risiko tingkat bunga masih terkendali dan dalam jangka menengah diharapkan bergerak menurun melalui pengelolaan yang baik dan dijaga tidak melewati batas yang telah ditetapkan.

Selanjutnya, risiko nilai tukar diklaim juga telah semakin menurun seiring kebijakan pemerintah untuk mengoptimalkan sumber utang domestik dengan mata uang rupiah.

Adapun terkait risiko refinancing, pemerintah mengukur risiko refinancing dengan average time to maturity (ATM). Besaran ATM cenderung memendek sejak 2021, karena adanya volatilitas pasar keuangan yang tinggi.

“Sehingga investor cenderung memilih instrumen dengan tenor pendek-menengah,” tuturnya. Akibatnya likuiditas pemerintah sangat rentan, akibat investor yang lebih memilih untuk meletakkan instrumen yang berjangka panjang.

Sumber : CNBC Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Top