Kabar keluarga kaya asal Indonesia yang membeli tiga rumah di kawasan mewah Singapura menuai pusat perhatian.
Pembelian rumah ini masuk kategori bungalo kelas atas (Good Class Bungalow/GCB). Keluarga ‘crazy rich’ itu membeli tiga sekaligus unit properti elite Nassim Road, tepatnya nomor 42, 42A, dan 42 B.
Nilainya tidak tanggung-tanggung, yakni mencapai US$ 155 juta atau setara dengan Rp 2,3 triliun. Sontak transaksi jumbo ini menuai sorotan dari Kementerian Keuangan.
Namun patut diketahui, selama ini banyak Warga Negara Indonesia (WNI) yang memiliki properti di negara-negara seperti Singapura. Sebelum 2020, pajak pembelian properti di negara Singapura tergolong rendah. Properti ini pula yang kadang jadi sumber pendapatan dari uang sewa.
Dengan kepemilikan properti di luar negeri, bagaimana pembayaran dan laporan pajaknya?
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti menuturkan bahwa WNI yang membeli aset properti, baik rumah atau apartemen, di luar negeri wajib melaporkannya pada SPT Tahunannya.
“Dalam hal WNI masih merupakan WP dalam negeri, maka ia wajib melaporkan aset,” tegasnya kepada CNBC Indonesia, Kamis malam (28/4/2023).
Adapun, pembelian properti di Singapura dipastikan tidak akan terkena pajak berganda atau pajak yang dikenakan di negara properti dibeli dan dikenakan ulang di negara asal pembeli.
Patut diketahui, otoritas pajak Indonesia dan Singapura telah memiliki tarif pajaknya sendiri diatur dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Namun, WNI yang memiliki properti di luar negeri harus mengajukan Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certified of Domicile (COD). Hal ini dilakukan agar terhindar dari pembayaran pajak berganda di kantor pajak sesuai domisilinya.
Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Keuangan II Singapura Indranee Rajah telah menandatangani amandemen Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia-Singapura pada 4 Februari 2020.
Amandemen ini merupakan hasil perundingan yang telah dilakukan lima kali sejak 2015. Komitmen perubahan ini dilakukan untuk menyesuaikan dinamika perkembangan perekonomian dan standar perpajakan internasional, karena P3B yang saat ini berlaku merupakan perjanjian yang ditandatangani pada 8 Mei 1990 dan berlaku efektif 1 Januari 1992.
Dikutip dari situs Kemenkeu, ada beberapa ketentuan yang diatur dalam P3B, salah satunya yaitu penurunan tarif branch profit tax dan tarif pajak royalti sesuai dengan tarif umum P3B Indonesia.
“Untuk branch profit tax akan turun dari 15% menjadi 10%, sementara royalti dari tarif tunggal 15% menjadi 10% untuk hak cipta karya sastra, seni, dan film serta 8% untuk penggunaan peralatan industri, perniagaan, atau ilmiah,” tulis Kemenkeu.
Selain itu, ada ketentuan penguatan pengaturan perpajakan kontrak bagi hasil (production sharing contracts) dan kontrak karya (contract of work) terkait sektor minyak, gas, dan pertambangan. Ketentuan lainnya adalah terkait penegasan pemberian pembebasan pajak atas bunga yang diperoleh oleh institusi pemerintah kedua negara, termasuk Sovereign Wealth Fund dan subsidiary-nya.
Beberapa ketentuan lainnya adalah pengaturan capital gain atas penjualan aset; pengaturan pengenaan pajak atas transaksi kantor pusat dari Bentuk Usaha Tetap (BUT); pengaturan anti penghindaran dan pengelakan pajak; dan pengaturan pertukaran informasi perpajakan.
P3B hasil amandemen termasuk tarif pajak yang diatur masih harmonis dengan P3B Indonesia dengan negara mitra lainnya, dan juga sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam rancangan omnibus perpajakan untuk mengundang investasi. P3B yang baru ini selanjutnya akan menggantikan P3B lama dan akan berlaku efektif setelah melalui proses ratifikasi oleh kedua negara terlebih dahulu.
Sumber : CNBC Indonesia