.mapouter{position:relative;text-align:right;height:500px;width:600px;}embedgooglemap.net.gmap_canvas {overflow:hidden;background:none!important;height:500px;width:600px;}
Home / News / Seruan Boikot Pajak Itu Konyol, Orang Miskin Bisa Menderita

Seruan Boikot Pajak Itu Konyol, Orang Miskin Bisa Menderita

Pasca heboh harta Rafael Alun Trisambodo banyak seruan muncul untuk menolak membayar pajak sekaligus melaporkan SPT Tahunan. Padahal ada dampak serius jika semua orang di Indonesia tidak membayar pajak.

Kewajiban pajak harus dipahami sebagai kewajiban untuk berkontribusi bagi kesejahteraan dan pembangunan negara, bukan sebagai hukuman. Dengan tidak membayar pajak, maka pembangunan di Indonesia tidak akan berjalan dengan baik dan ketimpangan akan semakin melebar. Apalagi, Indonesia masih sangat minim dalam pembangunannya, dibandingkan dengan negara lain.

Negara membutuhkan pajak sebagai sumber keuangan untuk membangun bangsa dan menyejahterakan kehidupan masyarakat. Masyarakat juga akan rugi karena tidak akan bisa menikmati fasilitas umum yang lebih baik lagi, jika tidak ada yang membayar pajak.

Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan pajak merupakan kontributor utama dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kontribusi penerimaan pajak terhadap APBN mencapai 70%.

Realisasi penerimaan pajak pada 2022 mencapai Rp 1.717,8 triliun atau setara 75,5% dari realisasi belanja dalam APBN 2022 yang sebesar Rp 2.274,5 triliun. Bayangkan betapa pentingnya peran pajak dalam pembangunan di Indonesia.

Penerimaan pajak di tahun ini ditargetkan bisa mencapai Rp 1.718 triliun atau tumbuh 16% dari target penerimaan pajak pada 2022 yang sebesar Rp 1.485 triliun.

Pembayaran pajak digunakan untuk pembangunan fasilitas bagi masyarakat umum. Tanpa setoran pajak, negara tidak bisa membiayai pembangunan infrastruktur, serta tidak bisa membiayai dan melindungi masyarakat miskin.

Sebab negara memiliki mandatory spending atau belanja negara yang sudah diatur oleh undang-undang, untuk mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah.

Alokasi belanja pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial menjadi yang terbesar di dalam APBN 2023. Belanja pendidikan dalam APBN 2023 mencapai Rp 612 triliun. Ini merupakan anggaran tertinggi dalam sejarah di Indonesia. Kemudian belanja kesehatan dialokasikan sebesar Rp 178,7 triliun.

Serta yang terpenting adalah anggaran perlindungan sosial yang mencapai Rp 476 triliun yang dianggarkan dalam APBN 2023. Ini sebagai antisipasi pemerintah dengan ketidakpastian harga pangan dan energi.

“Anggaran perlindungan sosial diperuntukkan untuk bantuan tunai yang paling membutuhkan maupun untuk jaminan kesehatan nasional,” jelas Kementerian Keuangan dikutip dari laman resminya, Jumat (3/3/2023).

Tak terbayang, apa jadinya jika pendapatan negara dari pajak berkurang, siapa yang harus menutupi anggaran belanja negara? Kepada siapa rakyat miskin dan rentan menopang kehidupannya?

Bila pemerintah mengurangi belanjanya, yang rugi kita semua sebagai rakyat. Karena bisa dipastikan ekonomi menjadi lesu. Tabungan mungkin tidak cukup menjamin keuangan keluarga ke depannya.

Ekonom senior sekaligus Menteri Keuangan RI (periode 2013-2014) Chatib Basri dalam suatu kesempatan mengatakan, sebagai masyarakat kita membutuhkan barang-barang publik yang tidak bisa dimiliki secara pribadi.

“Sebagai contoh, kita tidak membayar secara langsung petugas keamanan, lampu jalan, dan jalan umum yang kita gunakan dalam keseharian kita. Tapi, secara tidak langsung kita membayarnya melalui pajak untuk menikmati barang publik itu,” ucap Chatib dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh DJP pada 2020 silam.

Chatib juga bilang, pajak berfungsi bukan sekadar untuk mengumpulkan uang masyarakat, melainkan untuk menggerakkan ekonomi.

Salah satunya untuk redistribusi dari mereka yang memiliki pendapatan tinggi bagi kelompok miskin dalam bentuk bantuan sosial agar memiliki daya beli.

Kepercayaan dari masyarakat pun menjadi hal penting bagi pemerintah dalam mengelola pajak yang sudah dibayarkan.

Tak Ada Pajak, Semua Harga Bisa Mahal

Di tengah gejolak perekonomian karena pandemi Covid-19 dan perang Rusia dan Ukraina pada tahun lalu, membuat harga minyak mentah dunia ikut melonjak.

Di saat harga minyak mentah naik, subsidi energi dari pemerintah disalurkan untuk menjaga agar harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak ikut terkerek.

Saat ini masyarakat bisa membeli Pertalite seharga Rp 10.000 per liter, padahal berdasarkan perhitungan keekonomiannya harga Pertalite seharusnya sekira Rp 11.000 per liter. Artinya, dengan harga saat ini selisih harga Rp 1.000 per liter dibayarkan oleh pemerintah lewat APBN.

Sementara, kontribusi APBN banyak disumbang dari pajak. Tanpa setoran pajak, maka masyarakat harus membayar mahal harga BBM dan membuat inflasi meningkat. Adapun dalam APBN 2023, pemerintah menganggarkan subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp 339,6 triliun.

Tak Ada Pajak, Semua Harga Bisa Mahal

Di tengah gejolak perekonomian karena pandemi Covid-19 dan perang Rusia dan Ukraina pada tahun lalu, membuat harga minyak mentah dunia ikut melonjak.

Di saat harga minyak mentah naik, subsidi energi dari pemerintah disalurkan untuk menjaga agar harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak ikut terkerek.

Saat ini masyarakat bisa membeli Pertalite seharga Rp 10.000 per liter, padahal berdasarkan perhitungan keekonomiannya harga Pertalite seharusnya sekira Rp 11.000 per liter. Artinya, dengan harga saat ini selisih harga Rp 1.000 per liter dibayarkan oleh pemerintah lewat APBN.

Sementara, kontribusi APBN banyak disumbang dari pajak. Tanpa setoran pajak, maka masyarakat harus membayar mahal harga BBM dan membuat inflasi meningkat. Adapun dalam APBN 2023, pemerintah menganggarkan subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp 339,6 triliun.

Sumber : CNBC Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Top