Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mendapatkan kewenangan baru melalui Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 untuk penerapan perjanjian internasional di bidang perpajakan yang lebih luas.
Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama mengatakan, sebelum adanya PP Nomor 55 Tahun 2022 sebagai turunan dari Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ketentuan terkait ini hanya mencakup persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) saja.
“Yang kami atur sebetulnya perluasan dari ketentuan dalam UU sebelumnya yang mengatur penghindaran pajak berganda saja,” ucap Mekar dalam webinar MUC Consulting, Kamis (16/2/2023).
“Yang kami atur sebetulnya perluasan dari ketentuan dalam UU sebelumnya yang mengatur penghindaran pajak berganda saja,” ucap Mekar dalam webinar MUC Consulting, Kamis (16/2/2023).
Dengan PP yang baru ini perjanjian atau kesepakatan perpajakan secara bilateral dan multilateral meliputi penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba, pertukaran informasi perpajakan, bantuan penagihan pajak, dan kerja sama lainnya.
“Di bagian terakhir ini, kerja sama perpajakan lainnya, itu bagian yang kami munculkan sebagai antisipasi terhadap pilar 1 dan pilar 2 (Proposal OECD),” tutur Mekar.
Adapun jenis-jenis perjanjian atau kesepakatan perjanjian internasional itu, seperti konvensi multilateral dan bilateral atau persetujuan lainnya, konvensi tentang bantuan administratif bersama di bidang perpajakan, persetujuan pertukaran informasi, hingga kesepakatan mengatasi tantangan pemajakan akibat digitalisasi ekonomi dan penggerusan basis pemajakan.
Terkait pertukaran informasi, diatur secara khusus pengaturan wewenang Dirjen Pajak untuk melaksanakan pertukaran informasi untuk tujuan perpajakan dengan otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra.
“Dan juga wewenang untuk meminta informasi kepada wajib pajak atau pihak lain dalam rangka pertukaran informasi. Ini terkait dengan data finansial, rekening-rekening keuangan perbankan,” ucap Mekar.
Selain itu, wewenang Dirjen Pajak melaksanakan perjanjian atau kesepakatan di bidang perpajakan ini meliputi wewenang untuk mengatasi tantangan pemajakan akibat dari digitalisasi ekonomi, penggerusan basis pemajakan, dan penggeseran laba lainnya.
Menurut Mekar, ini sebetulnya juga tercakup pilar satu terkait tantangan akibat digitalisasi ekonomi, di mana perusahaan multinasional yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam perjanjian atau kesepakatan dianggap memenuhi kewajiban pajak subjektif dan objektif sehingga dikenakan pajak di Indonesia.
“Kemudian untuk pilar duanya pengaturannya meliputi untuk mengatasi tantangan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba lainnya, grup perusahaan multinasional yang tercakup dalam perjanjian atau kesepakatan pilar dua dapat dikenai pajak minimum global di Indonesia berdasarkan perjanjian atau kesepakatan,” ungkap Mekar.
Sumber : CNBC Indonesia